Bab Tigabelas

58 38 0
                                    

Langit senja kian menggelap tiap detiknya dan kegelapan itu menyebar dari ufuk barat ke ufuk lainya. Malam hari begitu dingin seperti malam-malam kemarin. Sekarang saja aku mengenakan empat lapis pakaian, topi hangat, dan jaket super tebal tanpa bulu dikerahnya.

Alan membantuku menyalakan api unggun dan merebus air didalam teko di atasnya. Entah kenapa aku ingin dia menjauh dari hadapanku. Tapi, dia malah menggeser bokongnya dan duduk lebih dekat disampingku. Aku benci ketika Nagita meninggalkan kami berdua seperti ini.

Duduk disamping Alan benar-benar membuat pikiranku kacau akan kekhawatiran yang ku rasakan tentang Sulu. Ya, walaupun dia tidak melihat Alan duduk disampingku atau dia tidak akan pernah tahu. Tapi, aku tidak mau menyakitinya dengan cara seperti ini.

Alan terus menerus menyelundupkan ranting-ranting dibawah bara api. Dan aku ingin mengusirnya tapi bagaimanapun dia adalah teman satu timku.

"Apa kau sangat kedinginan? Sebentar lagi airnya mendidih, aku akan membuatkanmu kopi," celetuknya sembari menolehkan wajahnya kepadaku.

"Ku rasa itu tidak perlu, kau tahu aku bisa membuat kopi sendiri," jawabku dengan menatap lurus ke arah api unggun.

"Aku tahu. Tapi, kau harus memanggilku jika butuh apa-apa. Dan....jika kau mengantuk, kau bisa meminjam bahuku lagi," ucapnya dengan senyuman yang benar-benar tidak ingin ku lihat. Kemudian, Alan mengangkat bahunya karena aku diam terlalu lama.

"Alan..."

"Iya Allia?" Kenapa dia fast respons begitu.

"Tolong rahasiakan tentang aku yang pernah tertidur di bahumu, dari siapapun,"

"Kenapa harus begitu?"

"Aku hanya tidak ingin orang lain berpikiran yang tidak-tidak tentang ini,"
Kelihatanya dia agak kecewa, "Baiklah," lalu dia tersenyum masam, "apa kau takut mereka mengira kalau kita berpacaran?"

"Bahkan aku tidak mau kau berpikiran seperti itu, kau adalah temanku, dan aku tidak mau menyakitimu. Jadi, jangan berpikiran aneh," sebenarnya kata-kataku agak kasar.

"Memangnya, tidak pernah ya terbesit di benakmu kalau aku menyukaimu atau aku ingin kan kita bersama?" Tanganya menyahut tanganku, membuat mataku menatap tajam ke matanya yang sayu. Wajah serius apakah ini? Kenapa aku tidak pernah mendapatkan ekspresi seperti ini di wajah Sulu? Apakah Alan lebih mencintaiku dari Sulu.

"Aku tidak...tidak pernah berpikir seperti itu, kupikir selama ini kita hanyalah teman dan aku hanya ingin berteman," tuturku perlahan sambil menarik tanganku.

"Baiklah, mungkin tidak sekarang. Tapi, aku berjanji, aku akan membuatmu memiliki pikiran seperti itu walau hanya sekilas, itu semua karena aku menyukaimu," bahkan dia mengungkapkanya dengan desahan nafas yang memburu.

"Oh...airnya sudah mendidih," syukurlah, aku bisa mengalihkan pembicaraan ini.
                                             *
Karena ini malam terakhir aku di Bromo. Jadi, ku putuskan untuk jalan-jalan sendiri. Toh, Nagita si pemalas itu tidak akan mau jika ku ajak. Dia pasti lebih memilih untuk bergulung dengan selimutnya daripada harus berjalan-jalan di cuaca sedingin ini.

Walaupun sudah mengenakan sarung tangan, tapi dinginya masih saja terasa menusuk kulit. Lalu, ku masukkan saja kedua tanganku ke dalam saku jaket. Kakiku menginjak rumput-rumput yang berembun karena cuaca  dingin.

Tiba-tiba ku dengar suara kuda. Sontak aku menoleh ke belakang. Seekor kuda putih semakin mendekat ke arah ku. Lalu, penunggangnya menghentikan kudanya tepat didepanku.

"Sulu?" Batinku karena tercengang.

Sulu turun dari kudanya dengan cepat. Lalu tersenyum manis dengan gaya kerenya yang khas. Dia meraih tanganku, kemudian mengepalkan kedua tanganku dan meniupnya berulang-ulang. Tanganku terasa begitu hangat. Dan aku merasa begitu bahagia saat bersama Sulu.

"Sulu," panggilku hingga dia mengangkat kedua alisnya.

"Tadinya aku tidak tahu bagaimana aku bisa berpamitan, tapi aku juga masih tidak tahu kenapa kita selalu bertemu disaat aku...meridukanmu.  Besok, aku sudah harus berkemas dan kembali ke sekolah. Walaupun tidak ku rencanakan, tapi merindukanmu adalah hal pasti yang selalu aku lakukan,"

Lagi-lagi dia hanya tersenyum tanpa tau kalau mengatakan hal ini butuh keberanian dan tenaga. Kemudian, dia menarikku ke dalam palukanya. Mulutku ternganga dan mataku berkedip-kedip. Cuaca dingin itu kini terasa sangat hangat.

"Sampai jumpa," kataku setelah kami berpelukan.

Dia tersenyum lagi. Menangkup wajahku dan mengecup keningku begitu lama. Payah!! Bahkan aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Jangan lupa vote dan comment good readers!!!! :) :) :)

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang