Alan meneleponku dan mengatakan kalau dia menungguku di sebuah kedai kopi dekat lautan pasir. Tidak tahu kenapa seolah aku muak mendengarnya yang seolah memaksaku harus datang menemuinya. Kalau dia bukan temanku aku pasti akan melarangnya untuk mengajakku bertemu. Tapi, tidak mungkin jika hal keji itu ku lakukan.
Setelah aku mengiyakan aku segera menutup telepon. Kemudian sebuah pesan singkat masuk, itu pesan dari Alan. Padahal barusaja dia meneleponku, tapi dia mengingatkanku lagi lewat pesan singkat. Ya Tuhan!
Kedengarannya ada suara sepatu kuda yang menapaki jalanan dibelakangku, tepat di belakangku, suara itu semakin dekat. Aku berpikir apakah seseorang akan dengan sengaja menabrak tubuh kecilku dengan seekor kuda yang tinggi besar? Jangan sekarang! Lalu aku menoleh.
"Hai... Selamat sore, " sapa seseorang sambil melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya.
"Sulu? Kau membuntutiku? "
"Apakah ini dilarang? Atau kau tidak suka diperhatikan? "
"Kau ini bicara apa?!"
"Maaf, jangan marah. Aku hanya ingin mengantarmu saja, " ucapnya sembari tersenyum dan menyodorkan tanganya untuk ku raih.
"Pria baik! " pujiku sambil meraih tanganya dan menaiki kuda putih miliknya.
Rasanya luar biasa bisa berada dalam satu pacuan kuda yang sama dengan pria yang satu ini. Aneh rasanya hatiku seolah tertancap es, dingin sekali. Namun, pipiku memerah seperti tomat dan menghangat seketika itu juga. Aku merasa ingin mengatakan pada Sulu kalau aku begitu menyayanginya. Tapi, kenapa begitu sulit?
"Allia? " panggilnya mengagetkanku.
"Iya? "
"Bukankah itu temanmu? Apa kau mau turun disini saja? " bagaimana bisa pria seperti Sulu tidak memamerkan kemesraanya denganku didepan pria yang menyukaiku. Dia benar-benar tidak ingin menyakiti siapapun.
"Baiklah aku turun disini saja, kami akan mengobrol sebentar di kedai kopi itu, bolehkan? " kataku sambil menuruni kudanya.
"Kau itu tidak sepenuhnya milikku. Semua yang ada didalam maupun di luar ragamu adalah sepenuhnya milik dan hakmu. Sebenarnya, kau tidak perlu meminta izin padaku, "
"Kenapa nada bicaramu begitu halus tapi isi kalimatnya terdengar menyakitkan? "
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Baiklah, karena kau sudah meminta izin. Jadi, silahkan, aku mengijinkanmu pergi,"
"Ya! "
"Hey kenapa singkat sekali?! " serunya.
"Lalu aku harus menjawab apa? " jawabku dengan rasa jengkel.
Sulu turun dari kudanya. Dia menangkup wajahku dan mendadak mencium hangat keningku. Detik itu juga denyut jantungku berpacu tidak karuan. Bahkan mengedipkan mata saja terasa begitu susah.
"Kau segalanya bagiku, jaga hatimu dan jangan berpikir yang tidak-tidak tentangku, " katanya membuat aku tersenyum.
"Baiklah. Seharusnya kau berkata seperti itu, " jawabku.
Ketika aku menoleh ke kedai Alan melambaikan tanganya padaku. Dia pasti sudah melihatku disini sejak tadi. Aku melihat wajah Sulu yang tersenyum manis, kemudian ku lambaikan tangan dan pergi menuju kedai.
"Hai Allia, " Alan menyambutku dengan berdiri dari kursinya kemudian duduk lagi.
"Hai, "
"Kau mau pesan kopi yang mana? "
"Aku tidak minum kopi, " kataku singkat dan jelas sehingga dia tidak perlu lagi menawarkan kopi-kopi itu.
"Baiklah, kau mau pisang goreng? " Nah, kalau ini aku tidak bisa menolak. Heranya, kenapa dia selalu menemukan alasan untuk mengajakku berbicara.
"Boleh, "
"Pisang goreng satu piring! " teriak Alan kepada salah seorang pelayan. Tanpa menunggu lama pisang goreng itu segera datang. Ku rasa, Alan sudah mempersiapkannya.
"Kau ingin mengobrol soal apa? "
"Emm... Aku ingin... Oh tidak tidak... Ku rasa itu masih terlalu dini? "
"Apanya? "
"Ehm... Makanlah ini selagi hangat, " tawarnya sembari mengalihkan pembicaraan. Baiklah! Pikirnya aku tidak tahu apa.
"Sampai kapan kau disini? " tanyaku sambil menggigit ujung pisang goreng yang gurih nan hangat ini.
"Sampai liburan selesai, barangkali, " diapun ikut-ikutan memakan pisang goreng.
"Kau sengaja mengikuti apapun yang ku lakukan ya? "
"Ha? Ugh...uhuk... Uhukk... " akhirnya dia tersedak dan menyeruput kopinya.
"Hmmm? "
"Apa? Tidak kok tidak. Aku hanya rindu masa-masa SMU yang pernah habis termakan waktu disini, "
"Kau tidak perlu melakukan itu Alan. Kau lakukan saja apa yang kau sukai. Sejujurnya aku malah tidak nyaman jika terus-menerus diikuti, "
"Tidak masalah. Selagi kau belum menjadi istri orang, setidaknya aku harus memperjuangkan bukan, "
Apa aku harus pura-pura tertawa? Atau menunjukkan sisi emosi yang sebenarnya. Apa dia tidak melihat ketika Sulu menangkup wajahku dan mencium keningku dengan hangat? Apa dia bodoh dan rela membuang-buang waktunya untuk menyukai seseorang yang menyukai orang lain.
"Aku tahu kau kesal. Tapi, hatiku adalah milikku. Sekalipun seluruh dunia menentangku, aku tetap akan menyukaimu. Karena jatuh Cinta itu tidak bisa memilih Allia. Hatiku sudah terpaku padamu sejak kelas dua SMU, "
"Alan, sebaiknya kita tidak meneruskan perbincangan ini. Sulu sudah menungguku disana sejak lama, aku harus menemaninya lahitan berkuda, "
"Kau tahu, aku adalah orang yang paling bangga menjadi diriku sendiri. Tapi, untuk kali ini aku kecewa. Aku berharap bisa menjadi seperti dia yang bisa mendapatkan hatimu tanpa berjuang mati-matian, " bahkan dia tersenyum setelah mengatakan hal itu. Matanya sedikit berair dan bibirnya agak bergetar. Aku benar-benar telah melukainya.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk... "
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Allia, ini salahku sendiri. Aku jatuh Cinta padamu. Membuat pilihan antara memperjuangkan dan melupakan adalah keputusanku. Terimakasih telah meluangkan waktumu untuk menemaniku mengobrol, " katanya sambil berdiri dari duduknya dan melangkah pergi.
Setelah beberapa lama aku terbengong. Sulu datang dan menanyakan beberapa hal seperti "kenapa dia pergi? Apa kau mencampakkanya? Apa kau menamparnya? Menyakiti hatinya? Atau mengusirnya jelas-jelas dari hidupmu? "
Dan aku hanya menjawab dengan kata, "tidak! "
"Lalu? "
"Kau bilang ingin latihan berkuda, bukankah kau ingin aku temani? "
"Ah kau benar! Baiklah ayo berangkat! "
KAMU SEDANG MEMBACA
Penunggang Kuda Tanpa Suara
RomanceGenre : Dark-Romance Terkadang, mengungkapkan cinta dengan lidah membuat semuanya menjadi mudah. Bagaimana jika cinta itu tak pernah terungkapkan dengan kata-kata?