Bab Empatbelas

50 37 2
                                    

Sulu menyodorkan secarik kertas seperti biasanya, berderet-deret kalimat telah ditulisnya di atas sana. Aku tahu itu sebuah puisi, tapi aku ragu untuk membacanya.

"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, tapi empat bulan kedepan, aku sama sekali tidak bisa berkunjung kesini. Tapi, aku berjanji, setelah ujian kelulusan aku akan kemari, menemuimu," kataku dan dia hanya mengangguk.

Sulu tidak melepaskan tatapanya dari kertas yang ku pegang. Mungkin dia ingin aku membacanya sekarang, "akan ku baca,"

"Masih ingatkah saat pertama kali kita bertemu?
"Masihkah kau fikirkan tentang kenaifanku?
"Ingatkah kamu gemerlap lampu yang kita tatap?
"Bintang-bintangpun tak berhenti menatap
"Aku tidak bisa menolak sebuah kodrat
"Ya, kodrat bahwa aku ditakdirkan untuk mencinta
"Tak bisa ku pungkiri, aku ingin mendapat sebuah arti
"Ingin memiliki dengan sepenuh hati
"Bisakah semua itu kudapatkan darimu?

Sungguh! Aku tercengang setelah membaca tulisan Sulu. Apakah ini bukan mimpi? Dia ingin mendapatkan sebuah arti, dariku? Kepalaku mendongak mata kami bertemu tatap dan raut wajahnya sungguh brillian.

Sekarang, matanya berkaca-kaca. Memang, dia tidak pernah mengungkapkan perasaanya lewat kata-kata. Tapi, tulisan puisinya telah mewakili segalanya.

"Aku...aku sangat ingin menjawabnya sekarang. Tapi, bolehkah aku menjawabnya setelah ujian kelulusan. Aku benar-benar, ingin fokus ujian dulu dengan sekolahku. Tapi, percayalah, jawabanku akan segera ku sampaikan,"

Dia hanya tersenyum, mengusap rambutku yang terbalut oleh topi hangat. Dia meraih salah satu tanganku. Mengajakku berkuda. Aku duduk persis didepanya, dan dia mengandalikan kuda dari belakangku. Entah bagaimana caranya, seekor kuda putih itu melaju dengan pelan. Seolah tahu kalau kami masih ingin bersama.

Setelah lama berkuda, dia menghentikan kudanya didekat perkemahanku. Lalu melompat ke tanah dan membatuku turun.

Tanganya melambai, mengisyaratkan bahwa aku boleh pergi ke perkemahan, dia terus seperti itu tanpa memudarkan senyumanya. Aku berjalan ke perkemahan sambil sesekali menoleh. Sulu masih berdiri disana. Bukankah, seharusnya aku memberikan pelukan perpisahan? Tidak! Tidak seharusnya seperti itu.

Aku terus berjalan hingga sampai ke tendaku, memasukinya dan mulai terlelap. Besok, adalah awal rindu yang lebih indah dari rindu-rindu sebelumnya.

Penunggang Kuda Tanpa SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang