Chapter 2

5.2K 227 0
                                    

"Fik, lo gak mau menang apa? Masa sih karena kayak gini aja lo marah-marah dan gak mau latihan?" rayu Tara.

Fika berdecak kesal. "Gue ini capek lho, Tar. Capek. Gue ini ketuanya, tapi dia itu kayak gak nganggep gue!"

"Dia itu bukannya gak nganggep lo, Fik. Dia itu nyampein apa yang dia rasa aja. Lo lebih pilih mana sama dia yang ngomongin lo dibelakang? Mungkin si Cica itu ngomong kayak gitu itu karena memang benar-benar haus doang."

"Ya tapikan itu waktunya latihan, Tar. Dia malah ujung-ujungnya marah. Salah gue apa?"

"Udahlah, Fik. Lo itu ketuanya. Lo itu kakak kelasnya. Harusnya lo ngayomin dia. Dia itu masih kelas 10. Masih labil banget. Dia juga belum tau suasana lomba itu gimana makanya sedikit ngegampangin."

"Gue pulang aja deh, Tar. Lo aja yang urus mereka. Udah males gue," ucap Fika masih kesal. Menurut Tara, tidak biasanya dia seperti ini.

"Lo gak bisa dong kayak gini. Kak Beti itu ngasih amanah buat lo yang jadi ketuanya. Masa lo mau lepas tangan kayak gini? Lagian, lo kayak gak biasanya sih, Fik. Masa cuma masalah kayak gini aja lo kayanya marah banget sama Cica. Lo ada masalah?"

"Gue balik."

Tara menghela nafas lelah. Akhirnya, ia membiarkan Fika pergi meninggalkan dirinya di koridor yang sepi ini. Dengan berat, Tara kembali menuju ruang MD.

"Guys, kita tetap latihan kayak kemaren. Kita mau kirim 2 tim, jadi kita harus latihan ekstra banget," ucap Tara. Tara mendekat kearah Cica yang masih menampilkan tampang singutnya. "Ca, udah ya? Kita latihan lagi. Lo udah minumkan?"

"Gue itu kesel banget kak sama kak Fika. Gue juga manusia, butuh minum. Tadi pas break, gue itu ke toilet, lama. Gue belum sempet minum."

"Yaudah deh, maklumin aja. Mungkin Fika lagi PMS. Gak biasanya lho dia kayak gini."

"Ya tapi kak..."

"Shuutt...dah. Ayo, kita latihan."

Akhirnya, semua orang di ruangan ini mulai menunjukkan kemolekan tubuh mereka secara bergantian karena berbeda tim. Mereka semua adalah perempuan karena tidak ada murid laki-laki yang berminat mengikuti ekskul ini. Hingga jam menunjukkan pukul 6 kurang 13 menit.

"Kayaknya cukup deh ya? Kita lanjut lagi nanti," ucap Tara.

Akhirnya, mereka semua keluar dari koridor sekolah yang sepi dan menyeramkan ini. Hari semakin gelap. Matahari juga sudah tidak menguatkan sinarnya untuk menyinari bumi seolah sudah menyerah untuk hari ini.

"Tar, lo mau bareng gue? Lo gak ada yang jemput kan?" tanya Raya. Raya juga kelas 12, tetapi berbeda kelas dengan Tara.

"Gak deh. Gue bakal dijemput sama Dani juga. Lo hati-hati."

"Oke."

Mayoritas dari mereka sudah pulang karena membawa kendaraan masing-masing. Hanya tinggal Tara dan Cica. Mereka menunggu di gerbang sekolah yang terbuka sedikit.

"Halo Dan. Aku udah selesai. Kamu bisa jemput aku?" ucap Tara pada Dani ketika mereka sudah terhubung dalam telepon.

"Ya, aku bisa kok. Kamu tunggu aja. 10 menit lagi aku sampe."

"Yaudah aku tunggu. Jangan kebut-kebut, inget!"

"Iya, sayang. Bye."

Akhirnya Tara dan Cica menunggu berdua. Jujur, Tara memang tidak begitu dekat dengan Cica. Maka dari itu, ia sedikit sangsi untuk memulai pembicaraan dengannya.

LEUKIMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang