Chapter 34

2.5K 142 19
                                    

Gua tau kalian pada gak suka Farel:)..
Tapi gezz, orang kayak Farel bukan cuma ada di fiksi doang.. Didunia nyata juga banyak..

Tapi apa bedanya Farel dan orang-orang di dunia nyata?

Bedanya adalah, Farel lebih terbuka dan berani mengungkapkan.. Beda dengan orang-orang di sekitar kita yang ragu bicara dan dipendam..

Happy reading..

*****

Pagi-pagi sekali, Tara berjalan seorang diri memasuki gerbang sekolahnya. Setelah kejadian kemarin, ia selalu memikirkan pasal itu. Entahlah, itu terasa perih di dadanya. Tara sekarang mengakui kalau sudah ada setitik perasaan pada Farel. Mungkin bukan setitik lagi, tapi segaris, atau mungkin selingkaran, atu mungkin lebih dari itu?

Inilah yang selama ini ia takutkan. Ia tidak pernah yang namanya berkeinginan untuk jujur pada siapapun termasuk teman-temannya tentang penyakitnya. Ditinggalkan itu menyakitkan. Apalagi karena sesuatu yang disebut kekurangan.

Sebelum Tara memasuki kelasnya, ia berjalan menuju kamar mandi untuk melakukan ritual buang air kecil. Setelah selesai, ia membersihkan tangannya di tap dan menatap wajahnya di cermin lama. Setelah sekelibat pikiran mistis muncul di otaknya, ia memilih untuk keluar dari kamar mandi.

Tara menutup pintu toilet dan kembali menatap depan. Namun ia tidak jadi melangkah karena Farel melewatinya. Ya, hanya melewatinya. Tanpa menegur. Bahkan, melirik saja tidak.

Tara merasa hatinya mencelos. Namun, ia selalu berpikir positif apapun yang terjadi.

Ya, Farel juga berhak bahagia..

Itulah kalimat yang selalu ia ucapkan berulang kali dalam otaknya. Itu sisi positifnya. Sisi negatifnya, ia selalu berpikir kalau Farel jahat.

Tara menggeleng samar tanda ia mau berhenti memikirkan hal itu. Menarik nafas terdalamnya lalu menghembukan perlahan sembari berjalan menuju kelasnya yang tidak jauh dari toilet.

Tara tidak sadar kalau lelaki yang tadi berlalu begitu saja berbalik menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Lalu, kembali melanjutkan jalannya.

*****

Tara berusaha untuk fokus dalam pelajaran kali ini. Selain kepalanya sakit luar biasa, otaknya juga tengah memikirkan Farel.

Ya, Farel...Farel...Farel...

Tara pun sempat bingung dengan dirinya sendiri, kenapa ia memikirkan Farel terus. Apa ia tidak ingin berpisah? Ahh, kata-kata itu terlalu berlebihan. Sepertinya.

"Tar nyontek dong. Gak ngerti gue," ujar Irily sembari mencoleknya dari belakang.

Tara menoleh singkat. "Gue juga baru ngerjain dua nomor, Li." Kini menatap Fika. "Lo udah, Fik?"

"Belum. Masih nomor tiga. 4 sama 5 susah." Kini Fika menatap Irily. "Gak usah kerjain lah."

Fika berkata seperti itu karena guru yang sedang mengajarnya adalah bu Ida. Guru matematika yang perfeksionis yang untungnya tidak terlalu mengurusi muridnya. Maksudnya, tidak peduli kalau muridnya tidak mengerjakan tugas.

LEUKIMIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang