Aku berkepribadian melankolis yang perfeksionis, sedangkan kamu seorang korelis yang antusias dan ekspresif. Aku ber-ideologi pada visi sementara kamu lebih kepada misi. Kita berbeda. Kamu menginginkanku, tapi tidak denganku.
--N...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Just capture important things"
--NADILLA--
SELAMAT MEMBACA
*****
Nadilla masuk ke dalam kamarnya dengan raut wajah frustasi. Dia ingin menumpahkan semua kekesalanya kemarin dan hari ini pada Indira, partner ceritanya selain Deasy. Kenapa Indira? Karena Deasy pro Erlangga, jadi untuk saat ini lebih memungkinkan Nadilla bercerita kepada Indira yang netral.
Nadilla membuka notebooknya dan mengaktifkan aplikasi skype. Kebetulan seseorang yang ingin ia hubungi sedang online. Langsung saja gadis itu menekan panggilan video untuk menyambungkannya dengan Indira.
Tersambung.
Seorang wanita mengenakan kaos breton stripe dan celana pendek tampak terpelonjat kaget ketika sambungan videonya terkoneksi dengan Nadilla-- gadis yang langsung mencercanya bertubi-tubi.
"Diraaaa! Gue sebel sebel sebel!"
"Sumpah! Gue kena karma apa sih harus ketemu cowok macem dia"
"Erlangga nyebelin, idiot, o'on, sok ganteng, sok keren, sok--"
"Santai dong Dil," selak Indira sebelum Nadilla puas mengelurkan semua sumpah serapahnya. Nadilla menghela berat, gadis itu menuruti instruksi Indira untuk mengatur napasnya yang berkejaran barusan.
Setelah dirasa cukup tenang, akhirnya Nadilla mulai bercerita. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Erlangga di Totaro Mart, bagaimana pria itu bersikap sok akrab dengan Anne dan Jendra, dan yang paling penting bagaimana pria itu membuat Nadilla kesal perihal pesan ma'am Roro. Dengan runtut Nadilla membaginya pada Indira, tanpa ada yang terlewat dan ditutup-tutupi.
"Dia suka lo Dil," kata Indira menafsirkan.
"Persetan dengan hal itu. Gue cuma mau dia kasih tau pesan ma'am Roro, apa susahnya sih!" Kesal Nadilla.
"Justru itu makanya dia nggak kasih tahu lo sekarang."
"Ya emang dia tuh seneng ngeliat gue naik darah."
"Bukan itu bodoh." Cerca Indira setelahnya. "Kalau dia kasih tahu lo sekarang, dia nggak ada alasan lagi buat ketemu lo lagi."
Ya, Nadilla sudah mengira hal itu, bahkan sebelum Indira menyampaikan penafsirannya. Tapi bukan itu titik masalahnya.
"Dir! Lo kenal gue berapa lama sih?" Tanya Nadilla memburu.
"Dua puluh satu tahun, dikurang tiga hari pas gue marah sama lo dulu." Jawab Indira terkekeh.
"Ya masa lo nggak tahu?! Gue paling nggak suka menunda pekerjaan, termasuk orang yang menghambat tujuan gue."
"Hmm, just capture importan thing," ujar Indira memutar bola matanya.