TD 23

158 28 1
                                    


Suara mobil yang dikendarai Genji pun berangsur-angsur menjauh, dan membiarkan Tiara menyaksikan kepergiannya. Tiara membuka gerbang, keheningan menyambut kedatangan Tiara di rumah. Saat ia hendak menuju kamar, tanpa terduga, ia mendapati ayahnya, Takiya Takamura, sedang duduk di meja makan.

"Otou-san (Ayah)?!" tanya Tiara tak percaya. Ayahnya tersenyum dan mengisyaratkan Tiara untuk mendekatinya. Tiara mengangguk dan menyambut kedatangan ayahnya. "Selamat datang, Yah."

Meja makan di hadapan Tiara sudah penuh dengan berbagai jenis makanan, sepertinya Takamura baru saja hendak menyantap hidangan ini. Tiara meletakkan tasnya di bawah meja, kemudian duduk di dekat Takamura.

"Ayo, kita makan," ajak Takamura.

"Sebenarnya, aku baru saja makan, Yah. Tadi, aku ditraktir ramen," tolak Tiara.

"Itu hanya ramen, Ti-chan. Makanlah lebih banyak," minta Takamura sedikit memaksa. Tiara tersenyum, ia menuruti ayahnya, kemudian mengambil semangkuk nasi dan mulai makan bersama ayahnya.

"Aku dengar, hubunganmu dengan Genji sedang tidak baik. Apa itu benar?"

Pertanyaan yang dilontarkan tiba-tiba oleh Takamura membuat Tiara tersedak. Ia meminum segelas air sebelum menjawab, "Ah, itu. Tidak juga. Hanya saja───, onii-chan (kakak laki-laki) sedang marah padaku."

"Banyak yang Ayah lewatkan rupanya ...," ujar Takamura. "Ayah minta, kamu tidak terlibat lagi dengan dunia balapan. Cukup kakakmu saja. Ayah ingin kamu fokus dengan kuliahmu. Kamu mengerti, Ti-chan?"

Tiara hanya tertunduk, selera makannya hilang seketika, ia meletakkan sumpitnya di samping mangkuk nasi yang belum habis.

"Ayah tau, Genji membelikanmu mobil dan kau balapan melawannya. Ayah tidak menyangka kamu senekat itu, dan kamu terluka. Apa kamu pikir aku tidak khawatir?" Suara Takamura meninggi. "Ayah khawatir padamu," sambung Takamura dengan lembut sambil menatap anaknya yang hampir tidak ia kenali lagi. Sosok imut dan penurut gadis ini, di mata Takamura sudah tiada.

"Ayah tidak tau ada hubungan apa antara kamu dan seorang pemuda bermarga Kim itu? Tapi, Ayah tak suka apabila hubunganmu dengannya menjadikan kamu, orang yang Ayah tidak kenali. Bahkan, kabur dari rumah? Apa-apaan itu?!"

Takamura mengambil tas di bawah meja. Membongkar isinya dengan terburu-buru dan mendapati beberapa pakaian dan perlengkapan pribadi di dalamnya. Dengan penuh kemarahan, Takamura melempar tas itu ke sembarang arah.

"Tiara!" bentak Takamura.

"Otou-san!" Suara Tiara meninggi. "Jika Ayah seperti ini, aku akan benar-benar pergi! Aku menjadi seperti ini juga karena Ayah!" Napas Tiara mulai tak beraturan. "Sejak kecil, aku sudah menanggungnya. Tidak ada yang mau berteman denganku, hanya karena aku berbeda. Reputasi ayah sebagai ketua gengster, hanya membuat mereka semakin menjauh dan memperolokku. Aku hanya ingin mereka tidak mengenalku karena keluarga ini, tapi karena diriku sendiri."

"Suka, tidak suka, selamanya kamu adalah anak Ayah, bagian dari keluarga Takiya," balas Takamura dengan dingin. Ia kemudian mendengus lemah, "Jangan mempersulit Ayah, kakakmu, dan dirimu sendiri."

Takamura mengambil sumpitnya kembali dan melahap beberapa daging. Sementara Tiara merenungkan perkataan Takamura. Beberapa saat berlalu tanpa perbincangan, sesudah suapan terakhir, Takamura memberi nasihat pada Tiara, "Jangan buat masalah lagi, kakakmu jadi tidak konsentrasi pada bisnis dan itu sangat merugikan Ayah."

***

Sebuah supercar merah melintas cepat di halaman luas dan berakhir di sebuah bangunan besar. Takiya Genji turun dari mobil merah, kemudian mendekati sebuah bangunan bergaya klasik modern yang sangat megah. Tak lama kemudian, segerombolan orang datang menyambut kedatangannya. Ketika Genji melewati mereka, semua tertunduk, walau usia Genji lebih muda. Anak dari seorang ketua Yakuza, memang harus dihormati oleh pengikutnya. Genji memasuki suatu ruang dan mendapati seseorang yang berdiri di tengah ruang tersebut.

"Lama tak bertemu, Paman Kagawa," sapa Genji sembari menghampiri.

"Ada perlu apa kau bertemu denganku?" tanya Kagawa lalu duduk di sebuah sofa besar di sampingnya. "Duduklah." Kagawa mempersilakan.

"Tempat ini sangat bagus. Cocok sekali dengan reputasi Yakuza dan mencerminkan ambisi pemimpinnya. Benar, kan, Paman?" tanya Genji sembari mengamati sekitar kemudian duduk.

Genji melihat sebuah meja kerja yang biasa digunakan Ayahnya di belakang Kagawa. Beberapa senjata dari pisau kecil, pedang, pistol, dan senjata lainnya menghiasi dinding di belakang meja kerja tersebut. Di sinilah tempat di mana seorang ketua Yakuza memimpin.

"Apa yang kau lihat, Nak?" tanya Kagawa, menghentikan penjelajahan pandangan Genji terhadap tempat ini. Genji tersenyum sinis.

"Sudah berapa lama Ayahku bergabung di sini?" tanya Genji lalu menatap Kagawa.

"Hampir seluruh usianya, dia habiskan untuk mendapatkan dan mempertahankan posisinya di tempat ini," jawab Kagawa. "Banyak sekali orang yang mengincar posisi Takamura, tetapi hingga saat ini dia tetap mampu mempertahankannya," sambungnya.

"Apa Paman, juga salah satu dari orang banyak itu?" tanya Genji tajam menginterogasi.

Kagawa terlihat gugup, "Yang benar saja, mana mungkin aku mengkhianati keluargaku sendiri."

"Banyaknya serangan dari luar, tak akan membuatku lupa yang berada di dalam, Paman," tuduh Genji. "Anakmu juga pernah mengkhianatiku. Takashi, orang yang dulu aku percaya, ternyata ingin mengambil posisiku di Black Building. Sayangnya, dia tak sebanding denganku," ungkap Genji dengan sombong. "Untuk itu Paman, mana mungkin aku lupa padamu, seorang tangan kanan Takiya Takamura. Akuilah, Paman!"

Brak!

Kagawa mengebrak meja, "Beraninya kau!" Suara Kagawa naik satu oktaf. "Tuduhan dengan argumen subjektifmu itu, siapapun tak akan percaya!"

"Kecuali aku," sahut Genji. "Ini ucapanku dan hanya aku yang mempercayainya!"

Kagawa melotot, menahan amarahnya.

"Dengar, Paman," minta Genji dengan nada suara yang hati-hati. "Aku tidak ingin ada yang terluka di antara keluarga kita nantinya. Karena itu, jadilah pengganti Ayahku."

Seketika amarah Kagawa tergantikan dengan keterkejutan atas perkataan Genji.

"Aku tau, Paman mengincarnya sejak lama. Aku tau ini dari Takashi, sebelum dia meninggalkan Jepang. Ambillah, aku tak menginginkannya. Ini bukan duniaku, meski aku tumbuh besar bersamanya. Jangan ada lagi pertumpahan darah. Lihat saja, suatu hari, ketika Ayahku menyerahkan posisinya padaku, aku akan mempercayakan tempat duduk itu───." Genji menunjuk meja kerja di belakang Kagawa, "───untuk Paman."

"Kau mengkhianati Ayahmu sendiri?" tanya Kagawa tak percaya.

"Paman juga nanti akan mengkhianati dia juga, kan? Akuilah! Sekarang!" bentak Genji. "Bahkan apabila aku yang menjadi ketua, akulah, orang yang akan susah payah ingin kau singkirkan."

Pelipis Kagawa berkeringat. "Aku───, ya, aku ingin menjadi ketua Yakuza, dihormati orang banyak, dan berkuasa atas bisnis yang menghasilkan banyak uang," aku Kagawa sambil melirik meja kerja di belakangnya.

Dasar orang tua haus kekuasaan, batin Genji.

"Tapi, Paman, ada syarat yang harus kau penuhi."

Kagawa mengerutkan keningnya, "Apa itu?"

"Jangan pernah ikut campur urusanku di Black Building. Bagaimana pun orang-orang yang ada di bawahmu nantinya, juga merupakan orang-orangku," kata Genji perlahan.

Untuk pertama kalinya, Genji mencoba menentukan masa depannya sendiri, meski hal ini mungkin saja menyakiti perasaan Takamura. Takamura sangat berharap masa depan Yakuza berada di tangan darah dagingnya, namun apa yang kini Genji sedang lakukan adalah mengubur impian Ayahnya dalam-dalam.

Bukankah seorang pria harus menentukan jalannya sendiri? batin Genji mencari pembenaran atas tindakannya ini.

-TBC-

Tokyo Drift [BTS Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang