Bagian 1

99K 1.2K 50
                                    

Pagi itu Dimas berangkat ke kantor dengan penuh semangat. Hari ini adalah hari pertamanya masuk kerja setelah sebulan lebih mencari kerja dengan mengandalkan memasukkan lamaran ke perusahaan-perusahaan. Sebenarnya tanpa harus memasukkan lamaran ke perusahaan-perusahaan, Dimas bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, Dimas tinggal bilang pada ayahnya bahwa dia bersedia mengambil tawaran yang diberikan oleh ayahnya sesaat sebelum dia lulus. Tapi Dimas bukan anak manja, dia ingin membuktikan pada ayahnya bahwa dia bisa memulai semuanya sendiri, dia berjanji pada ayahnya bahwa dia akan meminta bantuan seandainya dalam waktu 3 bulan semenjak dia lulus dia tidak mendapatkan pekerjaan. Ayahnya walau dengan hati berat sebenarnya sulit untuk mengabulkan permintaan anaknya tersebut tapi mengingat bahwa Dimas adalah anak tunggal, anak satu-satunya, maka beliau mengabulkannya. 

Dimas bekerja sebagai staf akunting di salah satu proyek pembangunan gedung bertingkat yang sedang dibangun oleh perusahaan tempat dia bekerja. Hari pertamanya dipenuhi dengan tugas-tugas yang diberikan oleh atasannya yang tampak senang dengan adanya Dimas hampir separuh beban pekerjaannya berkurang. Atasannya ini menurut cerita teman-teman yang baru dikenalnya merupakan atasan yang sangat sulit berinteraksi. Hanya bicara bila perlu saja dan tidak pernah bergaul dengan staf atau manager lainnya. Bagi Dimas tidak masalah sepanjang sang atasan ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Dimas menyangkut hal ihwal pekerjaan yang dia tidak mengerti. 

Salah satu yang  menjadi teman akrab Dimas adalah Ujang, office boy, yang tampaknya selalu ada setiap saat. Sudah hampir sebulan ini Dimas lembur dan dia tidak berkeberatan ketika Pak Tri atasannya meminta dia untuk mengerjakan banyak laporan karena akan ada audit dari kantor audit, tokh  di kosan pun Dimas tidak ada kegiatan lain selain membaca dan menonton tv atau dvd. Sejak diterima di proyek ini Dimas harus pindah sementara waktu ke Bandung. Walaupun keluarganya memiliki rumah di Bandung tapi lagi-lagi Dimas tidak mau menggunakan fasilitas itu. Ada hal-hal yang membuat dia tidak merasa bebas jika tinggal di rumah keluarga. 

"Kang Dimas belum pulang? Lembur lagi? Lembur terus?," Ujang menyapa Dimas yang sedang mengambil indomie dari laci di pantry.

Dimas yang tiba-tiba disapa karena menyangka tidak ada orang lain di kantor terkejut, "Astaghfirullah, 'jang, bikin kaget aja. Belum, sebentar lagi masih ada yang harus dikerjain karena diperluin Pak Tri besok pagi." Ujang kemudian mengambil indomie dari tangan Dimas. "Sini, kang, biar Ujang yang bikin, Kang Dimas duduk aja."Ujang kemudian berjalan ke arah kompor gas yang terletak di pojok pantry, mengambil panci kecil yang biasa dipakai untuk memasak indomie, mengisinya dengan air kemudian mulai memasak indomie. 

"Kamu kenapa belum pulang, 'jang? Udah hampir jam 9 malam ini. Besok bukannya kamu mesti pagi-pagi ke sini lagi buat buka pintu?," Dimas bertanya sambil memperhatikan Ujang yang sedang membelakanginya. 

"Ujang mah santai, kang, kadang nginap disini, dibawah kan ada kamar kosong satu yang biasa Ujang pakai kalau ngga pulang. Suka males di kos, kang, ngga ada teman, ngga ada hiburan. Kalau disini kan bisa main ke proyek suka ada yang lembur juga dan suka ada beberapa juga yang bergadang dan suka ngobrol." 

Dimas memperhatikan Ujang yang berdiri membelakanginya, tampak leher bagian belakang terlihat basah mengkilat terkena sinar lampu, Udara di dapur memang terasa panas. Dimas sendiri yang sedang duduk pun merasakan panas dan membuka kancing kemejanya hingga dua dan mengkipas-kipaskan tangannya berharap ada sedikit angin. Dalam diamnya Dimas terlihat menatap Ujang terus-terusan. Berkulit coklat agak hitam, tangan agak besar, badan terlihat dari belakang dengan bentuk badan yang cukup berisi. Ujang lebih tinggi daripada Dimas, sekitar 175 cm, sementara Dimas sendiri hanya 170 cm.

Ujang tampak sudah selesai membuatkan indomie untuk Dimas, kemudian berbalik dan berjalan ke arah Dimas yang sedang duduk di meja. Bukan indomie yang panas mengebul yang membuat Dimas semakin berkeringat tapi Ujang. Sang office boy ini berjalan ke arah Dimas dan ternyata dikarenakan ruang dapur yang terasa panas, Ujang telah membuka semua kancing kemejanya sehingga ketika dia berjalan badannya yang ternyata berotot kering dan basah oleh keringat yang mengucur di dadanya terlihat nyata dan jelas. Dimas menahan napas dan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang sekiranya bisa membuka identitas dirinya. Dimas cuma berharap Ujang akan membuka kemejanya sehingga dia bisa melihat jelas bentuk tubuh Ujang dan yang penting Dimas bisa melihat dadanya. 

UJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang