Hari Senin pagi Dimas berangkat ke kantor dengan perasaan agak sedikit enggan. Ada keragu-raguan dalam hatinya, kalau nanti bertemu dengan Wisnu, sikap apa yang harus diambilnya dan Dimas takut dengan reaksi dirinya yang tak bisa mengkontrol. Ujang sepertinya bisa membaca hal itu dari raut muka Dimas yang sedikit tegang.
"Aa berangkat duluan yaa dan jangan khawatir soal Wisnu. Neng nanti berangkat seperti biasa jam setengah Sembilan aja. Neng percaya sama Aa kan?," tanya Ujang sambil mendekat pada Dimas dan merangkulnya dari belakang.
"Sebenernya takut, A, tapi kerjaan banyak dan ngga mungkin dikerjain di kos," kata Dimas sambil menarik napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Ujang kemudian mengangkat dagu Dimas, mencium pipinya.
"Percaya, Aa, semua akan baik-baik saja."
Dimas mengangguk. Ujang pun kemudian keluar kamar kos dan berangkat ke kantor duluan.
Sesampainya di kantor, Dimas memarkirkan mobilnya lalu berjalan ke arah pintu gedung. Dilihatnya sekilas tak ada siapa siapa. Tampak beberapa karyawan yang melambaikan tangannya dari arah parkiran motor dan beberapa yang menganggukkan kepalanya saat berselisipan dengan dia. Dimas menarik napas lega.
"Selamat pagi."
Dimas terkejut saat hendak menaiki tangga ketika seseorang menyapanya.
"Oh, Pak Sudana, selamat pagi, Pak. Mau pulang, Pak? Jaga malam?," tanya Dimas terkejut.
"Tidak, saya jaga pagi sekarang. Malam biar Yoga yang jaga."
"Oh, saya belum pernah ketemu dengan Yoga."
"Iyaa, dia baru menggantikan Wisnu yang mengundurkan diri."
"W-ww-issnu keluar, Pak?," tanya Dimas tergagap.
"Iyaa, kemari hari Jumat terakhir. Katanya sih mau pindah kerja ke luar kota atau luar pulau gitu."
Dimas mengangguk-angguk, "saya ke atas dulu, Pak Sudana."
Pak Sudana mengangguk lalu berlalu keluar gedung.
Tak lama Dimas sampai dimejanya. Dilihatnya komputernya sudah menyala da nada secangkir kopi panas di mejanya. Dimas tersenyum. Dia tahu siapa yang membuatkan kopi itu.
Dimas kemudian duduk di mejanya dan mulai berkutat dengan pekerjaannya. Hari itu rencananya dia akan meeting dengan pihak dari Jepang.
Jam 11 salah satu dari staf juniornya menemuinya diatas. "Pak, tamunya sudah datang, bapak ditunggu di ruang meeting." Dimas mengangguk, mengambil berkas –berkas yang diperlukan dan segera turun menemui tamunya.
Pertemuan dengan pihak principal dari Jepang berjalan dengan lancar. Dimas bisa menjelaskan semua perihal yang ditanyakan. Para manager seniornya kagum dengan kecekatan, keakuratan Dimas dalam menjawab data-data yang ditanyakan. Pertemuan selesai pada pukul tiga sore.
Selesai meeting, Dimas menemui manager personalia.
"Bu Rini, maaf sebelumnya. Saya itu ngerasa ngga enak badan dari hari Jumat kemarin, dua hari istirahat tapi kok kayaknya badan saya makin ngga enak. Mau minta ijin untuk pulang awal hari ini. Insya Allah besok saya masuk seperti biasa."
"Euuuh, Pak Dimas maaah, makanya jangan kerja keras terus terusan. Sok atuh istirahat. Besok juga kalo mau istirahat ngga apa apa. Orang-orang Jepang mah biar ditemenin sama para manager senior ajah."
Dimas mengangguk dan tersenyum. "Makasih, bu, hatur nuhun pisan. Besok mah insya Allah udah sehat jagjag seperti biasa. Mungkin kurang tidur ini teeh."
Setelah mendapatkan ijin, Dimas kemudian keluar dari ruangan personalia dan menuju ke ruangannya diatas.
Dicarinya Ujang tapi tak ditemuinya. Dimas mencoba menghubungi Ujang lewat telepon tangannya, hanya nada panggil tapi tidak ada jawaban. Setelah mencoba berkali kali dan tak ada jawaban, Dimas kemudian mengirimkan pesan ke Ujang via WA yang mengatakan bahwa dia pulang duluan.
Sampai di mobil, dilihatnya kembali telepon tangannya dan masih ngga ada jawaban dari WA yang dikirimkannya. 'Centang satu. Kok hp-nya mati yaa?' tanya Dimas dalam hati. Distarternya mobilnya dan kemudian diarahkannya mobil itu ke kos.
Sesampainya di kos, diparkinya mobilnya didepan kosan. Dimatikannya mesin mobil lalu diambilnya tasnya dari tempat duduk disampingnya setelah itu Dimas keluar dari mobilnya, menutup pintunya dan kemudian berjalan ke arah kamarnya.
Dimasukkan kunci kamarnya tapi seolah ada yang mengganjal seperti ada orang yang lupa menarik kunci dari tempatnya. 'Eh, apa tadi aku lupa yaa ngga kunci pintu?' ditekannya handle pintu kemudian didorongnya pintu kamar kosnya. 'Aduh, bener kan aku lupa kunci pintu,' katanya sambil mendorong pintu dan masuk.
Begitu masuk ke dalam kamarnya, pandangan matanya langsung menuju tempat tidur. Satu pemandangan yang membuatnya terdiam dan tak mampu berkata-kata.
Ujang tampak sedang dipeluk oleh Pak Sudana. Ujang sedang dalam keadaan setengah telanjang, hanya memakai celana panjang seragam OB-nya dan Pak Sudana tampak memeluk sambil menepuk-nepuk punggung Ujang. Pak Sudana yang duduk dipinggiran tempat tidur dan menghadap pintu terkejut melihat Dimas yang tiba-tiba masuk.
"A?"
Ujang terkejut mendengar suara Dimas, dilepaskannya buruburu pelukannya ke Pak Sudana.
"Kang Ujang? Ada apa ini? Kang Ujang? Apa maksudnya ini?"
"Pak Sudana? Bapak ini siapa sebenarnya?"
Pertanyaan beruntun dari Dimas.
Ujang kemudian berjalan ke arah Dimas. Dimas mundur, badannya mendorong pintu kosan dan pintu menutup.
"Neng."
Ujang kemudian mencoba memeluk Dimas tapi Dimas kemudian mendorong Ujang. Ujang mencoba meraih kedua tangan Dimas tapi ditepiskan oleh Dimas dengan kasar.
"Jangan panggil neng. Ngga nyangka! Sumpah, sayah ngga nyangka!," Dimas hampir berteriak. Suaranya parau menahan tangis.
"Duduk dulu. Ujang jelasin semuanya."
"Enggak usah, udah jelas. Kang Ujang menghilang dari kantor, ngga jawab telepon, ngga jawab WA. Ternyata disini lagi asyik berduaan sama laki-laki lain," Dimas terus menyerocos.
"Sabar atuh, Ujang mau jelasin semuanya."
Ujang memeluk Dimas, Dimas berontak tapi kalah kuat. "Dengerin dulu penjelasan Ujang atuh."
Dimas akhirnya menyerah, menangis di dada Ujang. Ujang membawanya perlahan ke pinggir tempat tidur lalu mendudukkannya. Pak Sudana kemudian bangkit dari pinggir tempat tidur dan berdiri di depan pintu kamar.
"Sudah dari hari Minggu sebenernya Ujang mau ngomong sama kamu teeh tapi liat kamu sudah mulai sehat, kamu sudah mulai enakan, ngga enak ati Ujang mau ngomong. Takut kamunya malah drop lagih."
Dimas masih terdiam.
"Dimas, saya tidak akan ikut campur dengan hubungan kamu sama Ujang yang saya sudah tahu sejak lama. Saya disini hanya berurusan sama Ujang untuk satu hal yang memang mesti kami selesaikan."
"Ada apa semuanya ini, Pak Sudana?," tanya Dimas lirih.
"Panjang untuk diceritakan tapi saya mau hari ini semua urusan kelar. Setelah itu saya tidak lagi akan ganggu kehidupan kalian berdua. Dimas mau mendengarkan?"
Dimas mengangguk.
Pak Sudana kemudian berjalan ke meja kerja Dimas di kosan lalu menarik kursi yang ada disitu dan membalikkanya. Setelah itu dia duduk di kursi itu. Dinyalakannya sebatang rokok. Dihisap dan dihembuskannya.
"Sekarang dengarkan cerita saya. Setelah itu terserah Dimas mau apa. Saya dan Ujang siap menerima konsekuensinya."
Lalu Pak Sudana mulai bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
UJANG
RomanceUntuk pertama kalinya Dimas merasakan hal yang membuat dia tidak mengerti harus merasa terhinakah? Atau memang jalannya?