9. Rencana

39 11 0
                                    

Bagian 9 : Rencana.

Diandra datang lebih pagi dari biasanya. Dia masih benar – benar penasaran dengan orang yang memberi surat padanya. Jadi, di sinilah dia berada. Duduk manis dengan earphone yang sudah menempel di telinganya sambil menggumam pelan mengikuti lirik lagu yang dia dengar.

"Ray?"

Raya menoleh, dia kira baru dia saja yang ingin memasuki kelas. Ternyata Diandra sudah duduk manis di tempat duduknya, membuat dia sedikit lega. Karena tadinya dia pikir hantu yang memanggilnya.

"Ada apa?"

Raya berjalan mendekati bangku Diandra, lalu berdiri ketika sudah di depannya.

"Temenin aku aja sini, duduk bareng."

Raya menaikkan sebelah alisnya, "Kenapa? Bukannya lo paling anti duduk berdua?"

Perkataan itu membuat Diandra sinis sebentar walaupun nyatanya memang begitu. Diandra paling tak suka memiliki teman sebangku, apalagi sangat mengganggu. Dia lebih suka menyendiri, maka dari itu jarang sekali Diandra berbicara dengan orang. Sekalipun teman sekelasnya. Dia hanya akan bicara jika ada perlu saja, paling tidak saat ada kerja kelompok atau pelajaran yang mengharuskannya berinteraksi dengan yang lain. Tapi bukan berarti Diandra kaku berbicara, karena nyatanya Diandra itu bawel.

"Mulai hari ini lo duduk sama gue aja deh," Diandra mencoba membujuk Raya sambil menarik lengan perempuan itu untuk dipaksa duduk di bangku kosong sebelahnya.

Raya yang memang tak bisa menolak hanya bisa bertanya, "Kalau nanti Caca marah gimana?"

"Nanti biar aku yang bicara, udah kamu duduk sama aku," kata Diandra memaksa.

Raya hanya bisa menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Sementara Diandra yang berhasil membuat Raya duduk di tempatnya tersenyum penuh makna.

Kalau begini kan, Raya bisa tau siapa yang sering naruh surat di laci gue besok – besok, batinnya.

Setelah itu dia meraba lacinya, berharap tak ada surat lain selain surat yang dia simpan di sana hari – hari lalu yang sudah dia tindih dengan buku. Tiba – tiba matanya terbelalak kaget.

"Kok?"

Diandra bingung melihat surat yang sekarang ada di tangannya. Jelas – jelas itu surat baru. Tanpa dia sadari, laki – laki yang menulis surat itu melihat Diandara yang memang duduk di dekat jendela. Dia tersenyum tipis, lalu membalikkan diri untuk pergi ke kelasnya.

Some Letters For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang