pengakuan

78 6 0
                                    

Akhirnya kegiatan sekolah kembali seperti biasa. Sudah banyak anak-anak mulai memasuki ke sekolah, sedang aku hanya terdiam, entah kenapa rasanya aku enggan untuk melangkah padahal gerbang sekolah tinggal beberapa meter lagi di depan sana.

"Heii dia pelakunya."

"Wahh tidak nyangka yaa.. selain nakal dia juga seorang pembunuh sekarang."

"Karna itu kita jangan dekat-dekat dengannya."

"Loh?? Bukannya ketua osis itu bunuh diri?."

"Bisa sajakan dia memalsukan bukti. Kepolisian juga tidak yakin kalau itu sungguh tulisan tangan dari ketua osis."

"Bagaiamana kau bisa tahu?."

"Ayahku kan ikut dalam penyelidikan kasus ini."

"Sayang sekali padahal dia cukup tampan."

"Kau naksir dia?."

"Engga ihh.. aku mana mau sama pembunuh."

Aku menatap tajam sekumpulan siswi yang sedang membicarakan ku, menyebalkan sekali mereka menggosip tepat di depanku ditambah lagi dengan suara yang keras.

"Kalian mau jadi korbanku yang selanjutnya." Ujarku dengan penuh penekanan ditiap kata yang aku keluarkan.

"Kkyaaaaa...."

Mereka semua lari terbirit-birit sampai membuat mereka menjadi pusat perhatian.

"Menyebalkan."

Buk!!!

"Akhh." Kurasakan nyeri di bagian bahu kananku saat kulihat pelakunya adalah andri.

"Pagi ian."

"Hmm." Balasku.

"Kau yang membuat gadis-gadis itu lari?." Tunjuknya mengedikkan kepala.

"Yhaa.. aku benci mulut perempuan."

"Ya ampunn kau ini." Kudengar kekehan andri yang merangkulku.

"Ayo masuk.. kita buktikan pada mereka kalau kau bukanlah seorang pembunuh."

***

KKRRIINNN-KKRRIINNGG

Jam pulang aku, samira, dan juga andri mulai berkumpul di depan kelas.

"Oke misi dimulai."

Samira dan andri mulai pergi ke tujuan masing-masing, aku pun menuju atap sekolah berjalan dengan santai.

Sampai di atap kulihat gio juga masih berada disana.

Selang beberapa menit, aku dengar suara pintu yang dibuka, dan berdirilah rizal dengan pongkahnya.

"Lama sekali." Ujarku sinis.

"Akhirnya tikus sepertimu berani menunjukkan diri."

"Heeii bukannya yang tikus itu kau.... dengan pengecutnya... menjadikan tawuran waktu itu sebagai balasan huhh??." Balasku.

"Khee.. khe.. bagaimana rasanya... pasti sensai pukulan yang bisa memuaskanmu."

'Tahan ian.. tahan emosimu, ada waktunya kau untuk memukul wajah songongnya tapi bukan sekarang'. kalimat itulah yang terus ku rapalkan dalam hati, rasanya tanganku juga kebas karna terlalu kuat menggenggam.

Zian The Indigo BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang