Secuil kisah tentang seorang pemuda tan bernama Kim Taehyung.
Juga seorang pemuda manis, Jeon Jungkook tentu saja.
Bertemu kembali setelah 2 tahun lamanya. Meninggalkan gombalan Kim yang masih menggantung.
Mungkin Taehyung niat lanjutkan PDKT. Me...
Jungkook putuskan untuk mengungsi. Apartemen Park Jimin tujuannya.
Alasannya?
Jungkook tidak suka di rumah seorang diri. Sepi.
Pasangan Jeon harus hadiri pertemuan bisnis di luar kota. Sedangkan sang kakak pergi merantau. Sisakan Jeon Jungkook sendiri.
Tentu recoki pemuda Park jadi pilihan.
"Kak Jimin mau pergi?" tanya Jungkook.
Posisi rebahkan badan di sofa. Televisi di hadapannya. Tayangkan siaran seputar kehidupan dunia binatang.
Sosok rapi Jimin yang berjalan melintas curi perhatiannya. Dibalut kemeja kotak-kotak dan jeans hitam ketat.
"Cari makan malam. Ikut, Kook?"
Jungkook mencebik. Kesal. Alasan mengungsi agar tidak sendiri. Apa guna jika Jimin juga pergi?
"Ikut! Nggak mau sendiri."
Aw. Jungkook merajuk manja total gemas sekali.
***
Warung BBQ menjadi tujuan. Terletak tak jauh dari apartemen Jimin. Pemuda Park yang pilih. Sudah buat janji dengan seseorang dikata. Jungkook menurut saja. Toh, ia hanya tak mau sendiri.
Seorang pemuda pucat menyambut kedatangan mereka dengan raut masam. Bersurai hitam legam. Kontras sekali dengan warna kulit.
"Lama." Ujar sang pemuda pucat.
Singkat. Padat. Jelas.
Jimin pamerkan sederet giginya. Tampak tak apa dengan sepatah kata yang terdengar seperti umpatan di telinga Jungkook. Jujur. Jungkook sedikit takut.
"Maaf, Kak. Temu kelinci di tengah jalan. Kasihan. Ingin ikut katanya."
"Manusia, Kak!" Koreksi Jungkook.
Jimin terkikik geli. Menarik kursi di hadapan sang pemuda pucat. Duduk.
Jungkook hentakkan kaki pelan. Sebelum jatuhkan diri di kursi sebelah Jimin.
"Lo yang pesan, Jim. Mager." Titah sang pemuda pucat.
Jimin beranjak. Patuh sangat. Sama sekali tidak ada penolakan.
"Jungkook?" tanya pemuda pucat. Beberapa saat sepeninggalan Jimin.
Mata sipitnya sibuk pindai Jungkook. Buat Jungkook merasa gugup sendiri.
Tak sanggup ucap kata, Jungkook hanya anggukkan kepala. Sedikit ragu. Heran kenapa tau nama Jungkook.
"Santai. Gue bukan stalker. Jimin pernah cerita."
Jungkook tersentak kaget. Mulai curiga jika sang pemuda pucat sanggup baca pikirannya.
Tidak tau padahal wajah Jungkook jelas ungkap semua.
"Min Yoongi. Senior Jimin."
Untuk yang pertama kalinya, Yoongi tersenyum. Manis. Sukses kurangi rasa takut Jungkook. Sedikit.
"Jeon Jungkook, Kak. Sepupu Kak Jimin."
Yoongi terkekeh pelan. "Tau. Ternyata benar manis. Sangat."
Mendengarnya, Jungkook tertunduk. Malu. Dikata manis padahal baru jumpa pertama.
"Jangan buat Jungkookie takut, Kak." Seru Jimin ketika ia kembali.
"Ngawur. Siapa?"
Jimin memutar bola mata. "Kak Yoongi. Siapa lagi?"
"Nggak bakal. Jungkook manis soalnya."
"Oh, niat main api di depanku, Kak? Mendua?" Jimin mendelik.
"Berisik. Ngelantur lo, Jim."
Dan perdebatan kecil berlanjut. Dua set daging menjadi kawan. Juga beberapa botol bir dan sebotol cola dingin. Jungkook pilih bungkam. Diam sembari santap daging di hadapan.
"Nggak mau minum?" Yoongi bertanya. Kemudian menyesap botol bir ketiganya.
"Cola saja, Kak."
"Cih, bayi." Celetuk Yoongi dengan tampang meremehkan.
Jimin terkekeh dengar jawaban sepupu manisnya. "Itu sebabnya Kak Yoongi sebut kau bayi, Kook. Omong-omong, hampir nggak pernah aku lihat kamu minum."
"Lemah alkohol?" Yoongi bertanya.
"Siapa bilang?!"
Selagi berkata, Jungkook raih sekaleng bir terdekat. Meneguknya rakus dengan mata terpejam erat.
Pahit. Tidak enak. Jungkook tidak suka. Susu jelas lebih enak. Sehat pula.
Heran kenapa Jimin sebut alkohol adalah candu. Pun Yoongi tampaknya demikian.
"Jangan sebut bayi." Kata Jungkook setelah tenggak habis sekaleng bir. Dalam sekali jalan.
Yoongi kembali terkekeh. Bayi memang. Tak salah lagi.
"Combo daging dan bir memang terbaik!" celetuk Jimin coba hidupkan suasana. Tangan kanan angkat kaleng bir ke udara. Kemudian kembali buka suara, "Untuk merayakan bayiku yang sudah tumbuh dewasa. Cheers!"
Yoongi ikut angkat kaleng birnya. Melirik Jimin yang sudah setengah mabuk.
Jungkook menggerutu kesal. Namun tangan tetap terangkat ulurkan kaleng bir keduanya.
Dan dentingan samar kaleng yang beradu menjadi sebuah pertanda. Menjadi awal dari sebuah malam yang panjang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.