Jakarta, 1 februari
Pagi ini kota jakarta dipadati kendaraan, mengharuskan seorang gadis turun dari angkot yang ditumpanginya. Berlari menuju sekolah yang jaraknya masih 30 meter lagi.
Nafasnya terus menderu. Keringat dingin terus mengucur. Ditambah lagi dengan rasa ngilu yang didapatnya dari luka di lutut.
"pak buka dong pak, saya kan cuman telat 5 menit. Bapak jahat deh"
Rayuan terus keluar dari mulut kecil milik ica. Dia terus memasang wajah penuh rasa bersalah pada wajahnya, berusaha meluluhkan hati pak satpam.
"Bapak..."
Satpam itu hanya mampu menggeleng, meratapi perilaku anak jaman sekarang yang benar-benar tidak disiplin.
Namun bukan ica namanya jika tak pandai bersandiwara. Ia memaksakan air matanya turun dan mengeluarkan isak tangis sekuat mungkin. Sontak orang yang berlalu lalang di jalan menghentikan aktivitas mereka, menatap penuh penasaran pada gadis yang sedang menangis.
Pak satpam yang merasa ikut diperhatikan mulai merasa panik. Merasa tak punya banyak pilihan alternatif selain membuka pintu gerbang sialan itu yang membuatnya menjadi perhatian.
"Hehe... Makasih pak, Saranghae". Girang ica dengan senyum genit nan manja. Mengeluarkan bentuk hati kecil dengan sebelah matanya yang berkedip tak pasti.
Ica buru-buru berlari menuju gedung sekolahnya. Sangat tidak ingin hadiahnya terlambat lagi hari ini.
"David!! Tunggu!!". Jeritan melengking khas Ica seperti biasa selalu mengacaukan pagi yang damai dan tenang seantero sekolah. Ah, jangan lupakan dia, David.
Gadis itu dengan kebahagiaan bertumpah ruah dan semangat menggebu berlari semakin kencang kemudian membiarkan sol sepatunya yang licin itu menjadi ala ala sepatu roda.
Dengan senyum merekah indah khasnya, Ica dengan senang hati menyerahkan kotak bekal itu pada sosok yang berhasil membuatnya berbunga bunga belakangan.
"Gak". Ujar David datar. Menatap Ica bosan tanpa ekspresi.
Sementara yang ditatap, hanya tersenyum canggung. Pasalnya jarang sekali David menolak. Meski Ica tak yakin David menerimanya. Hanya saja jika pagi sebelumnya David hanya akan mengambil bekal itu kemudian berlalu pergi agar setidaknya Ica tidak merusuh.
"David tunggu". Rengek Ica dengan tatapan memelas. Semakin memajukan kotak bekal itu tepat pada wajah David. Rencananya agar laki-laki itu jengah dan memilih mengalah seperti biasa.
"Ambil dong. Capek tau buat kayak gini setiap pagi buta..". Gadis itu kini cemberut sendiri meski disini sepenuhnya bukan kesalahan David. Siapa yang menyuruh Ica dengan disiplinnya sepanjang hari membuatkan bekal seperti itu untuk David, sementara masalah disiplin untuk tidak datang terlambat saja Ica masih kewalahan.
"Gue bilang gak, ca".
Ica menghela berat. Meski masih setia menatap David penuh harap. Antara kesal ditolak, atau kagum dengan pesona seorang David.
"Kenapa? Biasanya juga mau..". Lirih Ica memelan dengan kedua tangan saling meremas. Menggemaskan untuk dilihat. Tapi sayangnya tidak bereaksi apapun bagi David.
"Gue gak butuh ca. Gue gak ma—". Ucapan David terhenti. Kedua alisnya terangkat sempurna. Menatap wujud gadis paling aneh yang pernah ditemuinya yang kini tengah menganga takjub.
"Apa?".
Ica menggeleng tak menyangka. Matanya bahkan tak berkedip semenjak sepasang bola mata legam itu menatapnya intens. Refleks sebelah tangan Ica terangkat menutupi mulutnya. Berdecak kagum ketika akhirnya dia bisa menatap mata itu lebih lama.
David mendengus remeh. Memutar bola matanya jengah. Menggeleng tak percaya di zaman modern seperti ini masih ada makhluk entah berantah asing nan aneh.
Kekaguman Ica berhenti sejenak. Gadis itu beralih memajukan sebelah kakinya. Tampak memeriksa keadaan lututnya yang semakin perih.
"Cabut sana". Titah David acuh tak acuh. Bahkan mendorong tubuh Ica agar cepat-cepat menjauh darinya.
Ica menggigit bibir bawahnya dalam. Tampak ragu. Pasalnya aura intimidasi David kini mulai keluar. Memberikan efek paling horor bagi seorang Ica.
"Te—terima dulu...". Kata Ica lemah. Berusaha mencoba untuk terakhir kalinya. Mengangkat tangan ragu. Menyodorkan bekal itu pada David.
"Gue bilang enggak, Ica!". Bentak David.
Agaknya laki-laki itu benar-benar emosi dengan sifat keras kepala Ica. Ayolah, David benar-benar muak. Hingga tanpa sengaja tangannya menghantam kotak bekal yang ada di genggaman Ica.
Hening. Bahkan bisa dibilang mendadak seisi bumi hening. Tak ada suara lain selain bentakan dan suara berdebum antara kotak bekal Ica dan lantai. Semuanya berantakan. Sama seperti perasaan Ica yang mendadak berantakan.
Gadis itu mengerjap berulang kali. Menunduk dengan tatapan nanar. Menatap butiran nasi dan lauknya yang berserakan di lantai.
"Maaf..". Lirih Ica entah pada siapa. Antara meminta maaf karena mungkin benar-benar mengganggu David, atau minta maaf pada dirinya sendiri karena telah tampak menyedihkan.
Gadis itu berjongkok. Menguatkan diri berulang kali. Mencoba menahan air matanya yang secara serentak memaksa turun.
Perlahan, Ica mengutipnya satu persatu. Tersenyum miris menatap jerih payahnya yang terbuang sia-sia. Namun tangannya yang terus bergetar, seolah tanda bahwa dirinya sudah tidak kuat lagi.
David menghembuskan nafas kasar. Mengusap wajahnya penat. Merasa kapok. Dan menyesal. Pasalnya ia mulai sadar bahwa ia keterlaluan.
Laki-laki itu berjongkok. Menyudahi aktifitas kutip mengutip nasi yang dilakukan Ica. Kemudian merapikan kotak bekal itu tanpa suara.
"Jangan nangis. Maafin gue ya?".
Ica mengangguk. Nyaris terisak kuat seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.
Gadis itu mengusap air matanya dengan lengan baju. Masih menatap dengan sorot sedih ke arah ceceran nasi di lantai.
"Na—nanti Ica bikinin yang lebih banyak". Kata Ica seolah pantang menyerah dan tidak lelah dengan kejadian ini.
Gadis itu berlalu. Meninggalkan David yang kini diam-diam menahan tawanya. Sedikit terkekeh geli melihat tingkah gadis itu.
Ah... Bukankah ini aneh? Bukankah seharusnya gadis itu marah?
Ica benar-benar berbeda.
[]
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thesaurus [END]
Teen Fiction"Aku, hanya akan menjadi masa lalu. Entah itu dilupakan, atau justru dikenang" -Nafisha. Awalnya, Ica berniat menjalani kehidupan SMA nya seperti pelajar normal lainnya. Menyembunyikan siapa dirinya. Menyembunyikan segala kekuatannya. Juga menyemb...