Jakarta, 1 februari
"Ca..".
"..."
"Ica".
Ica berusaha keras mengacuhkan panggilan David padanya. Entah apa mau laki-laki itu. Padahal tadi dia yang berkata bahwa tak suka Ica mengikutinya.
Ah... Padahal Ica sudah berusaha menjaga jarak.
"Makasih udah nolongin.. Ica pamit pulang dulu". Ujar Ica lemah. Meraih tas nya di ruang tunggu rumah sakit. Berjalan meninggalkan David yang masih tampak gusar ditempatnya.
Namun perlahan langkah Ica terhenti. Gadis itu merutuk dalam hati. Mengepalkan tangan menahan malu.
"David". Panggilnya pelan.
Laki-laki itu menoleh datar. Ralat, lebih kepada menahan tawa.
"Kita dimana?". Ucap Ica malu malu dengan tangan dilipat di dada. Wajahnya ia naikkan sebagai bentuk arogansi dan gengsi nya. Dengan wajah ditekuk agar siapapun paham bahwa ini adalah keterpaksaan.
"Menurut Lo?".
Ica diam. Dahinya berkerut. Tampak berfikir keras. Yang kemudian justru membuat David sukses terbahak kencang.
Laki-laki itu melepas jaketnya sambil berjalan ke arah Ica berdiri.Tampak jantan sekali di mata Ica yang kini kembali berbinar. Menyimpan kagum setiap kali matanya meneliti sosok David.
David kemudian mengikatkan jaket itu pada pinggang Ica. Diikatkan terbalik. Guna menutupi rok Ica yang robek sepanjang garisnya. Hingga short dan segala bawaannya terjiplak jelas.
Sontak saja wajah Ica memerah. Kenapa dia baru ingat bahwa roknya robek?
Astaga malunya.
"Jadi... Rumah Lo dimana?".
"Eh?".
Dari pertanyaan singkat dan keren itu, entah kenapa mulai terbayang di benak Ica bagaimana suasana ketika mereka akan duduk bersama dalam satu motor. Berboncengan di sore hari.
Namun semuanya kembali buyar ketika bentakan David tadi kembali menghantamnya pada fakta
"Gak papa David. Ica gak mau ngerepotin". Ujar gadis itu dengan kepala tertunduk. Menutupi senyum malunya yang terkembang lebar.
"Gak usah mikir kejauhan, siapa yang mau nganter Lo pulang?".
"Hah?".
Sekali lagi saja. Rasanya perkataan itu menusuk hingga ke tulang tulang. Rasanya ingin sekali Ica kabur saja dari sana.
David menghela dengan wajah datar seperti biasa. Menarik pergelangan tangan Ica guna membawa gadis itu berjalan lebih cepat ke arah luar rumah sakit.
"rumah lo dimana?"
"Di—di jalan xx".
Setelah mendengar jawaban gadis itu, David segera melambaikan tangannya pada taksi yang mengarah pada mereka.
"Nih ongkos, pulang sana".
Laki-laki itu pergi begitu saja dengan motornya. Tak peduli dengan Ica yang kini menghela pasrah dengan bibir ditekuk. Membuka mobil taksi dan duduk di dalamnya dengan perasaan tidak terima.
Jika tau begini akhirnya juga sedari tadi dia tidak menolak ajakan Salsa—sahabatnya—untuk pulang bersama.
Sebenarnya mudah bagi Ica untuk meminta orangtuanya agar diantar jemput dengan sopir pribadinya. Tapi yah... Mau bagaimana pun, Ica tetap harus berfikir dewasa dan menyingkirkan egonya. Dia tidak mau kejadian di masa lalu kembali terulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thesaurus [END]
Teen Fiction"Aku, hanya akan menjadi masa lalu. Entah itu dilupakan, atau justru dikenang" -Nafisha. Awalnya, Ica berniat menjalani kehidupan SMA nya seperti pelajar normal lainnya. Menyembunyikan siapa dirinya. Menyembunyikan segala kekuatannya. Juga menyemb...