Jakarta, 4 februari
Bel berbunyi seolah membantu Ica sedikitnya keluar dari masalah ini. Gadis itu menatap Putri marah. Tak bisa melakukan apapun karena nasi telah menjadi bubur. Semua orang sudah tau.
Ica tidak lagi bisa bersembunyi.
"Ca..". Panggil Salsa lirih. Merasa jelas bahwa sahabatnya itu tidak baik-baik saja.
Ica pergi begitu saja. Meninggalkan Putri yang kini mengacak rambutnya frustasi. Tak suka apa yang dikatakan Ica tadi adalah kebenaran.
Ica berlari menjauh. Begitupun Salsa. Hanya bisa mengikut dengan mulut terkunci. Mengikuti Ica kemanapun gadis itu pergi. Karena Ica tengah membutuhkannya.
Mereka sampai entah dimana. Mereka tau tempatnya, hanya lupa namanya. Bagian sekolah mereka terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu.
Salsa menyodorkan botol minum milik Ica. Ia dapat melihat jelas tangan gadis itu yang bergetar hebat.
"Reaksi yang sama setelah marah ya". Gumam Salsa pelan. Mengelus punggung Ica. Membiarkan gadis itu selesai dengan emosinya.
Ya, biasanya setelah marah gadis itu pasti berakhir dengan mengeluarkan air mata, menangis. Yang salsa tau, gadis itu pasti takut sesuatu terjadi padanya ketika rahasianya terbongkar.
Ica menangis terisak. Sesegukan. Menutupi wajahnya dengan punggung tangan. Menurut saja ketika Salsa menariknya kedalam pelukan hangat gadis itu. Menangis sebebas mungkin dalam dekapan Salsa yang nyaman. Seolah ingin berdiam diri disana lebih lama. Menumpahkan segala rasa kesalnya.
"Salsa... Ica takut". Parau Ica diantara Isak tangisnya.
"ssttt... Udah tenang ya, ga bakalan ada yang berani nyakitin lo Ica, lo kuat. Lo lebih kuat dari apa yang orang kira. Percaya sama gue".
"Ta-Tapi, papa sama mama juga bisa kena dampaknya.... Ica takut salsa... Takut".
"Iya gue ngerti..". Ucap Salsa lembut. Terus berusaha menenangkan tangis Ica. Mengatakan beberapa hal yang berhasil mengurangi rasa takut gadis itu.
Seumur hidup, ini kedua kalinya Ica menangis separah ini.
Pertama, saat tantenya meninggal dunia. Ia terus menangis. Padahal sudah 1 minggu terlewati, tapi tetap tidak bisa menutupi kesedihan gadis itu. Ia jauh lebih sering termenung. Mengerjakan sesuatu dalam diam. Nyaris setengah tahun kehilangan semangat hidup ketika Tante kesayangannya meninggal.
"Udah baikan?".
Ica mengangguk pelan. Menghela berat. Merasa matanya bengkak dan panas.
"Lo masih mau lanjut ke kelas?".
Ica menggeleng. Ia terlalu malas. Untuk sekali saja. Ia benar-benar tidak ingin melakukan apapun setelah semua masalah ini.
Gadis itu mengambil HP-nya. Berniat menelfon sang mama. Meminta izin untuk pulang.
"halo ma, ica boleh izin pulang sekolah sekarang, ma?".
""loh kenapa sayang, gak biasanya kamu kayak gini, gak enak badan?""
"iya, tiba tiba badan Ica panas, boleh ya ma?". Ujar Ica memohon.
""yaudah deh, nanti mama bilangin ke papa, kamu jangan lupa minum obat ya sayang, love you!""
"love you too ma".
Pip
Sambungan tertutup. Wah, benar juga. Untuk pertama kalinya Ica begini, pulang lebih awal dari jam seharusnya.
"jadi kita ke mana?". Tanya salsa.
"salsa mau ke rumah ica? Kita main dirumah aja".
"Boleh?".
KAMU SEDANG MEMBACA
Thesaurus [END]
Teen Fiction"Aku, hanya akan menjadi masa lalu. Entah itu dilupakan, atau justru dikenang" -Nafisha. Awalnya, Ica berniat menjalani kehidupan SMA nya seperti pelajar normal lainnya. Menyembunyikan siapa dirinya. Menyembunyikan segala kekuatannya. Juga menyemb...