Jakarta, 5 februari
Di dalam salah satu bilik Toilet, tangis Ica terdengar menggema pilu. Sudah lima menit gadis itu terus duduk disana, menumpahkan rasa kesal dan takutnya.
Tak pernah seumur hidup Ica membayangkan bahwa David akan menamparnya seperti itu. Dimana pun, seharusnya nanti Ica yang akan menampar laki-laki itu sembari berkata "brengsek" seperti pada novel novel yang ia baca.
Sepuluh menit, akhirnya Ica memilih keluar dari bilik toilet. Mencuci wajahnya berulang kali, menguatkan diri bahwa menangisi yang sudah terjadi bukan hal yang baik.
Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati untuk melangkah kedepan, untuk tidak jatuh ke lubang yang sama. Menyukai David lagi adalah hal yang akan sangat ia hindari beberapa detik kedepannya.
Ica harus kuat.
Gadis itu keluar dari toilet. Bunyi bel yang sudah lama berdering sedikit menguntungkan Ica untuk berjalan dengan wajah bengkak seperti ini dengan bebas.
Namun bukannya, ketenangan itu berlangsung lama, sosok yang paling ia hindari itu tiba-tiba saja datang dari seberang. Sama kagetnya dengan Ica sekarang.
"I—ica..?". Lirih David.
Ica buru-buru menunduk, berbalik, berjalan cepat menuju arah sebaliknya. Untungnya arah dimana ia berjalan ini menuju roof top.
Iya, untung ya..
Perlahan tapi pasti, bibir Ica bergetar kecil. Memejamkan mata dengan nafas yang naik turun. Meredakan rasa panas di matanya yang mulai menjadi.
Tenang Ica. Harus kuat.
***
"
Siapa yang nyuruh Salsa kesini?".
Salsa meringis kecil, menepuk sebelah pundak Ica. Menyengir lebar. Tentu saja Ica sudah bisa menebak jawabannya. David yang meminta Salsa untuk datang ke roof top, menemani Ica disini.
"Jangan dingin gitu ah, Ca. Sini peluk". Ucap Salsa lembut, menarik Ica perlahan kedalam pelukannya.
Ica membalas pelukan itu, menyandarkan kepalanya pada pundak Salsa. Menghela berat berulang kali. Tersenyum tipis karena setidaknya di saat saat begini, Salsa bersedia menemaninya.
"Cerita, Ca. Jangan di pendam sendirian gitu". Ujar Salsa lirih, menatap Ica membujuk.
Ica memaksakan senyum tipisnya hadir. Menatap Salsa lekat.
"Ica sama David berantem".Baru saja, teriakan tidak menyangka itu akan keluar, Ica sudah lebih dulu melototinya.
"Bukan berantem biasa. Kami bentak bentakan, Sa. Gak ada yang mau ngalah. Saling maki makian. Itu parah banget".
"Dan..?". Tanya Salsa lagi. Menunggu kelanjutan kalimat Ica. Pasalnya ia tau, bukan itu kalimat sesungguhnya yang ingin Ica ceritakan padanya.
"Dan.. Dan kecelakaan itu kejadian, Sa".
Mendadak, tatapan Salsa jatuh menjadi serius. Menatap Ica dengan perasaan yang mulai kalut.
"Apa Ca? Apa yang dia lakuin sama Lo?". Desak Salsa.
Ica menggeleng kecil, tersenyum kecil lagi.
"Lupain, Sa. Udah lewat juga"."Enggak enggak. Bilang sama gue Ca! Dia ngapain Lo?!".
Ica diam, mengalihkan tatapannya dari Salsa. Namun justru hal itu membuat perhatian Salsa teralihkan. Terpusat sepenuhnya pada pipi sebelah kiri Ica yang sedikit bengkak dan merah.
"Ca.. jangan bilang..". Salsa meneguk salivanya susah payah.
"Jangan bilang dia nampar Lo, Ca!". Ucap Salsa panik. Tak kuasa menahan bendungannya lebih lama, terutama ketika Ica sudah lebih dulu menangis tanpa suara.
"Enggak bisa gini, gue harus ketemu sama bajingan itu!". Tegas Salsa, beranjak berdiri secepat mungkin.
"Salsa! Salsa jangan!". Pekik Ica lebih serius. Ba—bagaimana kalau Salsa dan David jadi bertengkar?
"Diem disitu, Ca. Gue gak bisa diem aja setelah kejadian ini".
Ica menggeleng frustasi. Hendak menahan Salsa namun langkah gadis itu dua kali lebih cepat darinya.
"Kalau Salsa pergi, Ica gak mau bicara lagi sama Salsa!". Pekikan Ica berhasil menghentikan langkah Salsa sepenuhnya. Berdiri mematung dengan perasaan semakin kacau.
Ica mendekat. Menggenggam sebelah tangan Salsa. "Udah, ya? Temenin Ica aja disini".
Keputusan mutlak itu pada akhirnya berhasil membuat Salsa menyerah. Memilih kembali duduk bersama Ica tanpa satupun yang membuka suara.
Membuat Ica tersenyum miris, dengan air matanya yang jatuh semakin deras.
Sebentar saja. Setelahnya Ica akan kuat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thesaurus [END]
Teen Fiction"Aku, hanya akan menjadi masa lalu. Entah itu dilupakan, atau justru dikenang" -Nafisha. Awalnya, Ica berniat menjalani kehidupan SMA nya seperti pelajar normal lainnya. Menyembunyikan siapa dirinya. Menyembunyikan segala kekuatannya. Juga menyemb...