Thesaurus [END]

Epilog

Tetes pertama hujan turun membasahi bumi. Angin lembutnya menyapu kecil di sekitarnya. Terasa sejuk meskipun sesak yang di rasakan sekarang. Tanah liat yang awalnya tertata padat mulai berubah menjadi lumpur. Kuusap batu nisan di hadapanku. Aku tersenyum pilu sembari menatapnya nanar. Meski dingin, kurasakan sebuah kehangatan merambat tubuhku. Sebuah pelukan tak kasat mata yang bisa kurasakan dari sahabatku, Nafisha.

Kuletak sebuket bunga mawar kesukaannya. Beserta sebuah foto. Foto ku dan dia yang sedang berpelukan sembari tertawa.

Kenangan itu. Tak bisa dilupakan selamanya. Dia terlalu baik untuk dilupakan. Semua kebaikannya akan mengantar dirinya menuju tempat terbaik. Tempat dimana tak ada orang jahat yang berkhianat. Sepertiku.

Air mataku turun menyatu dengan hujan. Ikut bergabung membasahi segunduk tanah liat dengan batu nisan dihadapanku.

Kurasakan air hujan berhenti menetes di kepalaku. Aku mendongak. Sebuah payung bening melindungiku dari rintik hujan yang kian membasahi tubuhku. Dia tersenyum lembut dan hangat padaku. Tapi senyumnya tetap tidak berhasil mengusir rasa sesak yang kurasakan sekarang. Disini. Menatap tempat peristirahatan terakhir Ica.

"Ayo, Sa. Jangan nangis lagi. Dia sudah tenang di atas sana. Kita juga harus merelakannya". Ucap David, mengulurkan tangannya padaku.

Aku mengangguk pelan. Dengan bantuan tangan darinya aku berdiri.

Bahkan aku Masih menggunakan toga lengkap dari wisudaku dan langsung pergi menuju tempat ini. Agar dia juga bisa ikut merasakan kelulusannya.

Seperti janji kita dulu. Kita akan lulus bersama. Kita, aku dan kamu, Nafisha.

Salam perpisahan kita, aku tak akan melupakanmu.

Aku menutup mataku dalam dalam. Tetes terakhir air mataku meluncur sebagai salam akhir perjumpaan kita hari ini.

David benar, Ica sudah bahagia.

Gadis itu selalu bahagia.