9) Kakak Kelas {4}

231 20 0
                                    

Jakarta, 3 februari

        Hal gila memang. Diumur yang sangat muda dan belum tentu matang, Ica tengah memegang seluruh saham salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.

Bahkan Ica pernah mencatat prestasi menjadi CEO termuda di umurnya. Tercatat pula, Ica mengendalikan dua puluh perusahaan beserta cabangnya dengan tenaganya sendiri. Mengikuti jejak papanya yang handal dan profesional dalam dunia bisnis.

Sejak umur 3 tahun sampai 11 tahun, Ica jauh lebih menekuni dunia tata Krama dan perbisnisan. Menekuninya selama kurang lebih 9 tahun agar menjadi sosok yang hebat dalam menemani papa dan mamanya untuk berdiri di tingkat yang sama.

Menjadi penerus selanjutnya. Menjadi otak utama sekaligus tangan kanan sang papa saat ini. Karena hanya Ica, yang bisa dipercaya. Menakjubkan. Hebat.

Ketika mungkin anak lainnya masih sibuk menghitung rumus bangun datar, Ica sudah lebih dulu menguasai teknik untuk memulai modal bisnis dengan meraup keuntungan berdasarkan harga jual pasar.

"Hmm... Agusti Damanik. Orang yang cukup bertanggung jawab dan tegas. Tapi sayangnya disini bukan hanya itu poin utama. Bukankah sangat merugikan saya jika orang seperti bapak tetap menjadi direktur disana? Akan sangat menyenangkan jika besok surat pengunduran diri bapak sudah sampai ditangan saya. Selamat sore".

Ica menutup kembali Hp-nya. Segera beranjak dari tempat membosankan ini.

"TUNGGU!! Jangan mimpi kamu!! Ngaku ngaku anak keluarga wijaya, kamu kira saya bodoh?". Bentak pak Agus dengan tangan refleks menarik paksa lengan Ica.

"oh ya?". Ica menghentak kasar tangan pak Agus. Ia kembali membuka Hp-nya. "mau bicara langsung sama papa? Ginda wijaya?".

Tertera jelas disana nomor yang siap dihubungi.

"Sialan!". Umpat pak Agus. Merampas handphone milik Ica dan membantingnya ke lantai.

Ica diam. Mengamati handphone nya yang sudah hancur lebur. Tak tahan untuk segera menyudahi segalanya.

"yasudahlah, lagian besok papa ngajak ikut launching produk smartphone terbaru kok, saya pamit dulu". Ica kembali beranjak.

Namun bukan Agus namanya jika bukan pecinta uang. Ia harus menjaga uangnya. Hartanya. Demi masa depan keluarganya. Dan demi, harga dirinya.

"dasar sombong kamu!! Cuman siswi SMA sok sok an ngancem pekerjaan orang, main main kamu hah?!".

Pak Agus kembali menarik lengan ica kasar. Memaksa Ica tetap berdiri ditempat dan tidak pergi meninggalkan Agus yang semakin panik.

"emangnya kenapa? Saya memang siswi SMA, mau saya laporin polisi atas tuduhan merusak properti orang? Penyerangan? Atau perlakuan tidak menyenangkan?".

"Hah?". Agus terdiam. Kehabisan kata-kata. Terjebak dengan segala permainan Ica.

"DASAR ANAK KURANG AJAR!!".

Satu tangan Agus terangkat. Emosinya yang memuncak, membuatnya tak tahan untuk tak segan segera memukuli Ica sekarang juga. Ia kalap. Tak peduli siapa Ica sebenarnya.

BRAAK

"Nafisha!!".

Pintu terbuka lebar. Menampilkan Ginda, beserta sanak bodyguard dan asistennya. Mereka datang tepat waktu. Seperti perkiraan. Tepat jam 5.

Sontak pak agus menghentikan tangannya. Menjadi adegan slow motion apik yang mampu membuat Ginda menggeram detik itu juga.

Ginda mendekati anaknya. Menghempaskan begitu saja pegangan erat Agus dari lengan ica. Beralih menarik Ica kedalam dekapannya. Serius dan bersungguh-sungguh untuk melindungi Ica dari siapapun.

Thesaurus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang