26) Drop

242 18 1
                                    

Ica mengerjapkan matanya berulang kali saat pandangannya mulai mengabur. Ia tidak boleh kehilangan kesadarannya sekarang.

Gadis itu mengedarkan pandangannya, berusaha menggeser tubuhnya agar bisa meraih tiang infusnya yang berdiri tidak terlalu jauh.

Beruntung, di detik-detik yang menegangkan itu, seorang pelayan yang tengah berkeliling memekik panik melihat Ica tengah duduk di pinggir kolam dengan wajah memucat dan baju dipenuhi ceceran darah.

"Nona?! Nona baik-baik saja?!". Tanya pelayan itu panik. Menyalakan handy talky nya.

"Pelayan utama masuk. Saya bersama nona muda di pool. Sepertinya nona muda drop lagi". Ucap pelayan itu pada handy talky nya. 

Tak beberapa lama, Bratney dan beberapa pelayan lainnya datang ke Kolam renang. Membopong tubuh Ica yang semakin melemah, membaringkan gadis itu kembali di kamar, membuat Ginda dan Najwa kaget bukan main.

"Ayo kita bawa ke rumah sakit! Bratney, siapkan mo—".

Ucapan Ginda terhenti ketika gelengan kecil dari Ica membuatnya terdiam. Bersamaan Ica menarik handphonenya sembarangan dari saku jasnya.

Gadis itu mengetikkan sesuatu dengan cepat disana.

"Ica gak bisa bersuara"

Begitulah teks singkat yang Ica ketik di handphone papanya. Membuat siapapun di ruangan itu tercekat bukan main.

"Ica gak mau ke rumah sakit lagi, panggil saja dokternya kemari"

Ketikan terakhir dari Ica sebelum gadis itu menutup handphonenya papanya. Tersenyum manis, bersamaan dengan air matanya yang perlahan menetes tanpa di duga.

Demi apapun, Ica sangat ketakutan sekarang.

***

Dokter Adipati sampai di rumah Wijaya. Meski itu resiko yang besar sekali. Tapi waktu yang sempit ini tidak memberi banyak ide dan pilihan.

Setelah beberapa menit memeriksa, Adipati menghadap Ginda. Menatapnya jauh lebih serius.
"Saya tidak mengerti bagaimana lagi, pak. Tumor itu... Berkembang semakin pesat. Membesar, menyerang bagian lain tanpa di duga, hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Kita tidak bisa menghentikannya hanya dengan makan teripang".

"Lalu kita harus apa? Kita gak mungkin menyerah gitu aja".

"Sekarang tumor itu berada tepat di tengah bagian leher Ica. Jika kita membiarkannya, Ica bukan hanya akan kehilangan suaranya, tapi juga kemampuan untuk bernafas, dan menelan makanan".

"Ada dua cara yang mungkin untuk kita lakukan sekarang. Pertama dengan menyuntikkan obat keras secara berkala agar tumor itu mati. Atau yang kedua dengan operasi pengangkatan".

"Apa yang terbaik sekarang?".

"Tidak ada".

"Hah?".

"Keduanya sangat berbahaya".

Ginda menggerang frustasi. Mengacak rambutnya dengan helaan berat.

"Bagaimana dengan cara pertama?".

"Kita akan menyuntikkannya setiap empat jam sekali pada tubuh Ica. Efek sampingnya cukup banyak, seperti kejang kejang, muntah, pusing, koma, atau bahkan cacat permanen".

Thesaurus [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang