"Ini dia!". Seru Bratney sembari membuka tangannya yang menutup pandangan Ica.
Ica membuka matanya, menatap lurus bayangannya di cermin, menggunakan cadar hitam.
Ica tersenyum simpul. Menatap satu satunya bagian wajahnya yang terlihat, mata beningnya. Gadis itu menatap para maid dan Britney bergantian. Lalu merangkul mereka dan memberikan pelukan hangat sebagai tanda terimakasih.
"Ica... Udah bangun?". Panggil Ginda. Duduk di atas kasur Ica dan menepuk sebelahnya.
Ica tersenyum tipis. Berjalan menuju kasur dibantu oleh para maid.
"Papa tadi beli ini, untuk Ica. Biar lain kali gampang".
Ica membuka bungkus benda persegi itu. Sebuah papan tulis seukuran papan dada lengkap dengan spidol khusus yang tertempel di permukaannya.
Ica tersenyum sumringah.
"Ica udah bisa bicara lho".Ginda membulatkan matanya. Tersenyum semangat. Menarik Ica kedalam pelukannya.
"Yang bener? Wah, papa seneng banget". Ucap Ginda dengan suara bergetar. Dalam hati mengucap syukur sebanyak banyaknya dan berterimakasih pada Athan."Sekarang kamu istirahat banyak banyak ya, biar makin cepat sembuh".
Itu bohong. Ica tidak akan sembuh. Tapi setidaknya Ica menikmati ucapan itu.
***
Pagi hari, Ica terbangun cukup awal. Alasannya karena beberapa bagian tubuhnya terasa tidak nyaman sekali.
Gatal. Ingin digaruk tapi tidak tau bagian mana yang harus digaruk.
Alhasil Ica beranjak mandi, menghabiskan waktu bermenit-menit untuk berendam air hangat di dalam bathup.
Selesai mandi dan berpakaian, Ica kembali menatap cerminnya. Lehernya memang berubah mengerikan. Tapi tidak puas rasanya jika tidak melihatnya setiap lima menit sekali. Penasaran.
Dia harus makan yang disediakan Athan agar lehernya membaik.
Setelah selesai memakai beberapa krim pagi dan lipbalm, Ica menyemprotkan pelembut rambut pada surainya. Menyisirnya dengan tangan, membuang beberapa helai rambutnya yang rontok.
Hingga setelah beberapa saat, helaian rambutnya yang rontok bertambah banyak. Sisi kepalanya beberapa sampai cobel. Membuat Ica menahan nafas nya sesak.
Apalagi ini?
Dengan tangan gemetar, Ica mengetes sekali lagi. Menyisir rambutnya dengan tangan, kemudian air matanya mengalir begitu tau ternyata ini sungguhan.
Rambutnya rontok.
Seperti Khanza.
"Enggak...". Ica menggeleng lirih. Menempelkan tangannya pada kaca. Menatap dirinya lebih dekat. "Ini gak mungkin..".
Isakan tangis Ica semakin menjadi. Hal pertama yang Ica rasakan tentu saja ketakutan. Semakin ber-negatif bahwa ini pertanda ia semakin mendekati ajalnya.
Ketakutan itu berangsur berubah menjadi rasa malu. Malu melihat rambutnya habis. Malu melihat kepalanya dengan rambut tipis acak acakan yang tersebar di beberapa bagian saja.
"Selamat pagi no-".
"Keluar". Ucap Ica, menutupi wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thesaurus [END]
Teen Fiction"Aku, hanya akan menjadi masa lalu. Entah itu dilupakan, atau justru dikenang" -Nafisha. Awalnya, Ica berniat menjalani kehidupan SMA nya seperti pelajar normal lainnya. Menyembunyikan siapa dirinya. Menyembunyikan segala kekuatannya. Juga menyemb...