Jakarta, 6 Februari
Lebih pagi dari sebelumnya, Ica sudah menginjakkan kaki di parkiran sekolah. Entah apa yang ia lakukan hari ini, melewati sarapan, tidak berpamitan pada orangtuanya. Hah, benar-benar kacau.
"Ica!".
Tubuh Ica tersentak kecil, mendongak mendapati eksistensi seorang David dihadapannya, tengah tersenyum canggung.
"Apa?". Tanya gadis itu dengan sorot datar.
"Boleh ngobrol sebentar gak?". Tanya David gugup.
Sementara Ica hanya diam, melipat dahinya. Lebih memilih jalan mendahului laki-laki itu.
"Ca, please". Pinta David dengan sebelah tangan menahan tangan gadis itu.
"Tiga menit aja". Ujar Ica sembari menyentak kasar tangan itu.
"Gue mau minta maaf sama Lo, Ca. Maaf karena gue gak pernah ngehargain Lo. Maaf kalau selama ini kasar. Maaf kalau gue banyak nyakitin perasaan Lo".
"Gue tau ini salah. Tapi gue udah mikirin ini baik-baik. Gue orang yang buruk, Ca. Lo pantes dapetin yang lebih baik lagi. Jadi maaf, untuk selanjutnya tolong hapus semua perasaan Lo, Ca".
Ica terhenyak. Menunduk dengan kedua tangan terkepal.
Kenapa..?
"Lo cewek baik-baik. Pintar. Cantik. Gue yakin banyak laki-laki yang lebih baik diluar sana. Maaf. Mungkin untuk berikutnya gue gak bisa lagi ngobrol kayak gini sama Lo, kare—".
"Kenapa?". Ica menggigit bibirnya dalam. Menahan sesak yang mengerubunginya. "Kenapa David ngomong cuma buat bilang kayak gitu?!".
"Karena gue gak mau nyakitin lo lebih jauh, Ca!".
"...?"
"Ada perasaan yang harus gue jaga. Gue gak bisa selamanya nge gantungin Lo kayak gini. Gue harus kasih penjelasan, makanya gue mau ngobrol sama Lo, ca. Jadi gue mohon, berhenti. Kita sama-sama berhenti".
"Maafin gue, ca".
"Apa sebelumnya pun Ica gak punya kesempatan?".
"Maksudnya?".
"Apa benar selama ini gak ada perasaan sedikitpun untuk Ica?".
David mengusap wajahnya bingung. Saling memijit jemarinya dari belakang tubuh. Menatap Ica ragu.
"Banyak, Ca. Tapi mau gimana lagi? Gue udah terlanjur buat janji sama orang, janji sejak kecil. Dan gue gak bisa hancurin itu seena—?!".
Rasanya jantung David nyaris meledak saat tiba-tiba Ica mendekat dan memeluknya erat sekali. Meski hanya sebentar, David tau pelukan itu adalah segalanya.
"Makasih ya". Ucap Ica lirih. Tersenyum senang. "ayo ke kelas".
"Ca..?".
Ica tak berhenti. Terus mempercepat langkahnya. Sementara David dibelakang hanya diam dengan mata yang mulai memanas.
Dia tau, Ica tengah menangis sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thesaurus [END]
Teen Fiction"Aku, hanya akan menjadi masa lalu. Entah itu dilupakan, atau justru dikenang" -Nafisha. Awalnya, Ica berniat menjalani kehidupan SMA nya seperti pelajar normal lainnya. Menyembunyikan siapa dirinya. Menyembunyikan segala kekuatannya. Juga menyemb...