"Heil, für alle meine Männer in ruhmreicher Armee. Heute, jener Dieb im Osten, einst unser Land beansprucht hat. Wir müssen unser Land zurückrobern für unser ruhmreiches Deustchland! Bereite dich auf den Osten vor!"
-der Wolf von Deutschland
Aku masih memandangi kalimat yang sangat membuatku pusing. Kurang lebih isinya mencangkup perintah Sang 'Wolf' untuk tentaranya. Semuanya sangat jelas pada kalimat terakhir yang berbunyi 'Bersiap untuk ke Timur'.
Aku masih tak percaya dengan mata kepalaku sendiri. Bagaimana bisa, ia mendapatkan informasi seperti ini? Aku tak habis pikir dengan semua ini. Bingung, aku pun memutuskan untuk bertanya langsung pada pria yang masih terduduk santai itu.
"Hey, darimana kau dapatkan ini Arthur?" aku mulai memasang mimik wajah serius.
"Hmm, kau meragukanku lagi, Zean?" nadanya masih terdengar santai.
Aku terdiam mendengar apa yang barusaja diucapkan lawan bicaraku ini. Aku memang tak punya hak untuk meragukannya.
"Ok, seperti ini, Zean-," Ia mulai angkat bicara lagi.
"Katakan padaku, apa kau melihat sesuatu yang aneh akhir - akhir ini?" Arthur berdiri. Mata biru cerahnya memandangku lurus. Aku terdiam, tak mau percaya semua ini.
"Oh, ayolah Zean! Kau baca koran pagi ini 'kan?! Dan lagi, dimana kakakmu?"
Arthur melontarkan rentetan pertanyaan kepadaku. Aku mulai menangkap alur pembicaraan ini. Semuanya mulai jelas. Koran, panggilan mendadak markas kakakku, dan sepucuk surat ini.
"Begini saja, Zean. Percaya atau tidak, semua ini akan segera terjadi." Begitu katanya. Aku ingin membantahnya, tapi punya apa aku? Semuanya sangat masuk akal.
"Oke, Zean. Aku harus pergi sekarang." Ia beranjak dari tempatnya berdiri.
"Sampai besok di sekolah." Arthur menepuk pundakku dan mengenakan topi hitamnya lagi. Aku hanya menangguk menanggapinya. Pemuda itu beranjak menghilang di antara celah - celah hujan.
Aku beranjak ke atas, dan menuju kamar. Semua ini membuatku gila. Aku menyiapkan segala sesuatu yang perlu untuk hari pertama esok. Tak banyak, sebenarnya aku hanya menyiapkan seragam untuk besok dan buku yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.
Semuanya selesai. Aku membanting tubuhku ke ranjang dan mulai menutup mata. Aku tak mau berpusing - pusing lagi untuk memikirkan apa yang barusaja kudapat.
Selamat malam dunia yang tak mudah ditebak.
***
*kringgg....*
Aku mengerucutkan alis sebelum akhirnya kumatikan asal suara itu. Kali ini aku bangun diiringi alarm bukan oleh celotehan khas Xander yang terdengar menyebalkan. Itu menandakan bahwa kakakku masih belum pulang dari dinasnya.
Aku berjalan menuju cermin, seperti biasa. Aku melihat tajam - tajam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah puas, aku kembali ke jadwal pagiku. Pukul 5 pagi, Mentari masih enggan menampakkan wajahnya. Jangan terkejut, aku memang sudah terbiasa bangun pagi buta di hari - hari sekolah. Namun, tidak kalau di hari libur. Entah mengapa, itu seperti sudah mendarah daging.
Aku membuat sarapan pagi, omelet dan segelas susu. Itu cukup untuk membuatku kenyang, yah untuk lima jam mendatang. Selepas makan, aku mengangkat handuk dan pergi mandi.
Pagi yang biasa untuk hari pertama sekolah setelah rasanya seabad liburan musim panas. Angin pagi menyapaku ketika aku membuka pintu aparetmen yang semula tertutup rapat. Aku meneruskan langkahku sembari menggendong ransel hitamku. Pukul enam pagi, mentari mulai merangsek naik di ufuk Timur. Aku berdiri di dekat halte menunggu bus sekolah lewat. Pada saat yang sama, ketika aku mendengar suara memanggil dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reckless World : World War II
Historical FictionAlangkah baiknya semua ini tidak pernah terjadi. Hari - hari yang tak lagi berarti. Manusia hanyalah sebatas makhluk kelas bawah, peliharaan kaum berjas hitam dan berhati legam. Tak ada lagi kata 'welas asih' yang dianggap hanya sebatas slogan 'man...