9. HMS Prince of Wales

180 26 4
                                    

Dingin. Apakah api tadi memang sedingin ini? Ataukah aku sudah mati? Apa yang terjadi padaku? Gelap.

Ah, benar. Apa si baret hitam itu juga mati bersamaku? Entahlah aku pun tak mengerti.

"Hei, bajingan! Bangunlah!"

Mengapa aku masih bisa mendengar suara? Bukankah orang mati sudah tidak bisa mendengar?

*Byur*

Aku terkesiap, terkejut, tak tanggung-tanggung hingga jantungku terasa akan copot. Aku terbangun di atas papan besi, tunggu ini bukan papan besi biasa.

"Akhirnya, kau bangun juga!" seru gadis yang tak asing lagi di mataku. Mata silver dan rambut pirang kecokelatan itu..

"Emilia?"

Aku memegangi kepalaku yang masih terasa sedikit pening.

"Apa yang terjadi padaku?"

"Bodoh!" Ia melengos pergi begitu saja, meninggalkan tatapan dinginnya.

Aku tak mengerti apa yang diucapkannya. Aku menatap sekitar, ini bukanlah pulau latihan MI 7. Jika aku tidak salah, sekarang aku berada di tengah laut, di atas sebuah kapal yang bertuliskan 'HMS Prince of Wales' di atas geladaknya.

Benar, terakhir kali yang kuingat adalah ada beberapa pesawat dive bomber Jerman yang mengebom pulau kami. Lalu-

"Hei, Zean. Syukurlah kau baik-baik saja."

"Arthur?" Aku melihat rambutnya kacau.

Arthur mengulurkan tangannya, membantuku untuk berdiri.

"Berapa lama aku tak sadarkan diri?" Aku bertanya seiring fajar yang mulai merangkak naik di penjuru Timur.

"Mungkin sekitar dua jam, atau lebih lama dari itu."

Aku ber-oh pendek mengetahui bahwa aku tak sadarkan diri lebih lama dari yang kuduga.

"Wilhelm, wanita baret hitam, Ian, Adrian, Vou?" Aku mulai teringat kembali kejadian di pulau.

"Mereka baik saja. Hanya saja si baret hitam masih belum sadar. Kau sangat beruntung dapat keluar dari barak, Zean."

Aku terdiam menatap sekitar.

"Ayo, Zean kita harus bergeas." Tukas Arthur melanjutkan.

"Kemana?"

"Kau akan tahu setelah ini."

Di kepalaku masih terdapat tanda tanya besar. Bagaimana aku bisa selamat, lalu kenapa aku dan yang lainnya bisa berakhir di atas kapal perang besar ini?

Tak lama, aku melihat pintu besi khas dengan lambang yang khas pula.

"Admiral's Quarter-His Majesty Ship Prince of Wales" Begitu tulisan yang terpampang di ambang pintu.

Arthur mengetuk, kemudian masuk.

"Ayo!"

Aku melangkahkan kaki mengikuti Arthur.

"Oh, silakan masuk. Duduklah dimanapun." Pria berbadan tegap dengan seragam putih menyambut kami dengan ramah.

Kulihat Vouwen, Ian, Adrian, dan Wilhelm, sudah duduk rapi di atas sofa yang melingkar.

Mereka tampak kacau, terutama Vouwen. Tangan kanannya tampak diperban sampai ke pundak, dan itu masih mengeluarkan darah merah segar. Tak terkecuali Ian dan Adrian yang tampak luka di keningnya, serta Wilhelm yang tangannya seperti tanganku, merah hampir melepuh terbakar.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang