5. 500 Mil ke Utara

306 40 0
                                    

"MI 7 meminta kita untuk bergabung."

Aku tidak salah dengar 'kan? Oh ayolah, mana mungkin badan Intelijen sebesar dan sehebat MI 7 merekrut anak SMA ingusan yang bahkan masih belum lulus ujian akhir. Maksudku, tidak ada yang istimewa dariku, atau dari Wilhelm sekalipun. Kecuali Arthur yang aku yakin masih sangat mungkin menerima pekerjaan ini dengan intelektualitas kelas tinggi miliknya.

"Kau tidak bercanda 'kan? Arthur." Suara lirih Wilhelm ingin menyanggah kalimat Arthur sebelumnya. Arthur hanya menggeleng.

"Apa – apaan ini Arthur?! Maksudku, kita hanya gerombolan anak ingusan yang kebetulan tahu salah satu informasi yang berasal dari sini. Apa mereka tidak salah pilih?" Aku yang mulai bersitegang dengan Arthur akhirnya mengeluarkan seluruh yang ada di dalam pikiranku.

"Tidak, Zean. MI 7 tidak pernah salah memilih dalam hal seperti ini." Dengan raut wajah yang seperti itu, aku yakin Arthur berusaha menyembunyikan sesuatu dari Wilhelm dan aku. Tapi sayangnya, aku tidak tahu apa yang berusaha ia sembunyikan dariku.

"Kalau kita menolak?" terangku yang masih tak mau kalah.

"Apa kalian belum tahu maksudku? Ini MI 7, bukan organisasi abal – abal yang tak karuan tujuannya. Dan kau tahu bagaimana jika kalian berurusan dengan Intelijen 'kan?" Aku bergindik merinding mendengarnya. Memang, jika kau sudah berurusan dengan Intelijen, akan kujamin hidupmu akan dibuat gila kalau kau menolak bergabung dengan mereka.

Wilhelm tertunduk dan masih terdiam di tempat ia berdiri, tak bergeming sedikit pun. Keheningan menyelimuti ruangan kecil yang minim cahaya ini.

"Yah, sepertinya kita kehabsian pilihan kali ini." Wilhelm mulai mengangkat kepalanya. Kata – katanya seolah ia menerima semua ini tanpa beban sedikitpun.

"Lagipula, tak buruk juga menjadi bidak emas kerajaan tua ini." Ia tertawa dengan gayanya yang agak menyebalkan itu. Memang seharusnya seperti itu, kalau tak mau tersiksa lebih keras di neraka ini.

*Ceklek* Suara itu kembali terdengar dengan membawa serta seorang pria kekar yang perawakannya mirip tokoh utama di film Rambo.

"Kurasa sudah selesai basa – basinya." Baru kudengar satu kalimat saja, aku sudah merasa tak suka dengan logat bicaranya itu.

Aku dan Wilhelm saling berpandangan heran, sementara Arthur masih dengan pose cueknya itu. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari balik saku celana sebelah kirinya.

Permen? Apa yang ia maksud dengan itu? Aku tak mengerti sama sekali. Dari situlah aku berkesimpulan bahwa kau tidak bisa menilai orang – orang di sini dari perawakannya saja.

"Kau mau?" tawarnya padaku.

"Mau aku apakan itu?" aku menolaknya mentah – mentah, sebab teringat kejadian pembawaan paksa ini.

"Hahaha!" Ia tertawa histeris. Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu?

Aku saling tatap lagi dengan Wilhelm dan Arthur, heran dengan tingkah tak jelas orang ini.

"Yah, harus kuakui mereka benar – benar pandai memilih orang." Ia melangkah mendekat.

"Selamat telah lulus ujian pertamamu!" ucapnya.

Aku tak tahu apa yang ia maksud dengan 'ujian' itu. Aku menatap pria yang tingginya hampir dua meteran ini dengan heran.

"Hey, kenapa dengan tatapan itu? Kukira temanmu sudah memberitahumu 'kan?" Ia berucap seakan tahu semuanya.

"Oke – oke mungkin aku bisa mengulangi ini. Tapi kurasa kau sudah tak betah lama – lama di sini, jadi ayo!" Ia mengajak kami keluar ruangan kotak ini. Aku mengikutinya dari belakang.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang