8. Blitzkrieg!

220 26 9
                                    

"Ayo terus, tambah kecepatannya!" begitu teriak wanita baret hitam yang masih menyeringai tajam, merasa puas melihat kami tersiksa.

Sumpah kalau bisa akan kulahap habis wanita sialan itu.

Pukul 10 malam, kami akhirnya dapat bernafas lega. Satu jam yang panjang sudah kami lewati bersama. Meninggalkan rasa nyeri di sekujur tubuh.

"A-ir" Arthur hampir tak kuasa berdiri. Aku yang masih cukup kuat untuk berjalan lantas berjalan mengambil botol air mineral yang tak jauh ada di sebelah wanita baret hitam itu. Aku melihatnya, tersenyum miring penuh kemenangan setelah melihat kami menderita.

Sumpah, kalau dia bukan wanita. Pasti sudah kuberikan tendangan terbaikku tepat di wajahnya. Wajah kami bertatapan sesaat, saling memandang. Semakin kupandang rasanya semakin ingin aku menendangnya.

"Apa ada sesuatu di wajahku, Zean?" Dengan wajah yang masih sama menyebalkannya ia bertanya padaku.

"Tidak, tidak ada." Aku menunduk, mencoba menghilangkan kontak mata, meredam emosiku.

Setelah ketegangan mereda, si baret hitam itu beranjak pergi, meninggalkan kami. Yang dapat kumaknai bahwa ia sudah puas dengan hukuman kami.

***

1 jam berlalu. Kaki, tangan, dan punggungku masih mati rasa, tak kuasa berdiri. Aku bersandar membelakangi Wilhelm yang sama lelahnya sepertiku. Tapi ini tak seberapa dibanding yang tadi.

"Andai saja, si baret hitam itu sedikit lebih lembut, pasti akan kulamar dia." Wilhelm mulai melantur tak jelas.

"Kau benar sudah kehilangan akal, Wil." Aku tertawa kecil mendengar pendapat temanku yang tak jelas ini.

Angin malam menyisik rambutku lembut, ditambah cahaya bulan yang menelisik seluruh pulau, menjadikan malam ini terlihat istimewa. Keadaan yang sama saat aku menghabiskan malam kemarin, dengan Emilia.

"Hei Wil, menurutmu apakah wanita cantik itu memiliki sifat seperti si baret hitam?" Tanyaku polos padanya.

"Hah? Kenapa kau tiba-tiba menanyakan soal wanita?"

"Masalah?" aku bertanya balik pada Wilhelm yang masih berbicara dengan menyandarkan punggungnya pada punggungku.

"Tidak, hanya saja ini tidak seperti Zean yang biasanya. Yang selalu masa bodoh dengan wanita. Hey, jangan bilang kau-"

"Aku apa?" Aku lantas melepas sandaranku, sehingga Wilhelm terjatuh ke belakang.

"Aduh! Hei, santai saja bung." Keluhnya kesal.

"Baiklah Zean, jika kau mau tahu bagaimana sifat wanita, aku pun juga tak bisa membantumu. Hanya saja aku pernah mendengar kata-kata orang di luar sana. Wanita itu, Zean, layaknya cermin. Akan terlihat baik ketika seorang yang tengah bercermin itu baik. Begitu pula sebaliknya." Lanjutnya panjang lebar.

"Intinya?" Aku masih tak paham dengan ucapannya yang bagaikan pujangga kelas tinggi.

"Hmm, intinya Zean ku yang loadingnya lama.. Ia akan memberikan apa yang kau berikan. Kau berikan kebaikan, ia pasti akan membalasmu dengan kebaikan. Begitu pula sebaliknya. Yah, mungkin konsep ini kurang sempurna jika kau jadikan pedoman untuk menilai si baret hitam." Ia terkekeh panjang.

Aku kemudian berbaring di sebelah Wilhelm, memandang langit malam dengan riasan bintang-bintang yang menambah keindahan sang rembulan.

Aku menoleh ke Arthur, dan yang lainnya, tertidur pulas di atas ranjang rumput hijau yang mulai kekuningan itu.

"Hey, Zean. Hanya perasaanku saja atau memang bintang-bintang itu semakin besar?"

"Apa yang kau bicarakan?" Aku balas menanyakan pertanyaannya.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang