14. Ancaman

100 19 0
                                    

Vote and Comment Please!

Thanks!

***

"Hei, Zean. Ikanmu gosong."

Aku gelagapan mengeluarkan ikan bakarku dari api unggun. Aku mendelik ketika melihat ikanku yang semula normal, sekarang berganti warna menjadi hitam pekat tak karuan. Aku menghela nafas panjang, sepertinya hari ini memang sial untukku. Wilhelm tertawa cekikikan bersama Ian, melihat ikanku yang sudah tak bisa disebut ikan bakar lagi.

"Sepertinya kita menemukan chef baru." Ian dengan mulutnya yang seperti ember bocor itu meledekku.

Aku hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal.

"Wil, apa kau tak merasa curiga dengan si sniper itu?"

Aku tak bisa membuang pikiran negatifku jauh-jauh. Ya, meyangkut si sniper tadi. Aku tak tahu dengan siapa ia bertemu di hutan. Tapi yang jelas itu membuatku gelisah, ketika aku melihat si sniper seperti melakukan transaksi rahasia dengan pria misterius itu.

"Si sniper? Maksudmu Reynald?" Ian menyela pertanyaanku.

"Ia sangat hebat, yah.. Meskipun aku sendiri tak begitu menyukai sifat sombongnya itu. Memang ada apa dengannya?" Ian membuka sesi pertanyaan baru yang langsung dijawab Wilhelm apa adanya.

"Reynald memang sedikit misterius karena dia jarang mengeluarkan suaranya. Tapi melihat Kapten Billy yang begitu percaya padanya dan penampilan menakjubkannya saat melawan serigala membuatku yakin padanya. Mungkin saja, itu adalah agen MI 7 lain." Ian menjelaskan santai sembari menikmati kopinya yang barusaja terseduh.

Meski penjelasan Ian cukup masuk akal, tapi tetap saja hal itu masih menggangguku.

***

Malam mulai larut. Rembulan bertengger di atas sana ditemani para awan yang mengitarinya. Membuat cahayanya tak sebinar kemarin malam.

Aku masih tak memiliki rencana untuk tidur. Jadi, aku memutuskan untuk ikut piket jaga malam bersama Sersan Vicky dan dua orang prajuritnya. Ditemani secangkir kopi dan kehangatan api unggun yang menjagaku tetap dalam keadaan segar tak mengantuk.

"Hei, Zean kami akan berkeliling sebentar, memastikan perangkap serigalanya sudah terpasang semua." Sersan Vicky kemudian pergi bersama kedua anak buahnya.

Aku duduk santai sembari memeriksa stok peluru di dalam rifleku. Sesekali aku membidik dengan rifleku. Rifle yang kupegang sekarang adalah rifle jenis Lee Enfield produksi terbaru, sangat akurat meskipun tanpa scope. Aku berpikir sejenak memikirkan Ian yang punya rifle sama denganku tapi dilengkapi dengan scope. Pasti sangat mengerikan.

Srek srek

Aku mendadak siaga, mendengar suara dari semak-semak yang jauhnya lima meter di depanku. Aku menyiapkan rifleku sembari berjalan membidik mendekati sumber suara itu.

"HA!" Aku menggertak, mengarahkan rifleku lurus kepada dia. Seorang pria dengan senapan riflenya yang juga mengarah lurus padaku. Pakaiannya tertutup rapat, dengan jaket tebal hitam serta jubah hitam yang menutupinya sampai ke wajah.

"Siapa kau?!" Aku berteriak padanya.

Ia perlahan menurunkan senjatanya dan perlahan maju ke arahku sambil membuka penutup wajahnya.

"Kau benar-benar menyebalkan!" Pria itu angkat bicara.

"Reynald?" Aku menurunkan senapanku, mengetahui dia bukan musuh.

Ia kemudian berbalik dan pergi ke salah satu pohon tertinggi yang ada di sana, memanjatnya. Aku melihatnya dengan keheranan, apa sebenarnya yang ia ingin lakukan?

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang