22. Konsolidasi

48 8 3
                                    

Aku mundur, melangkah mundur hingga aku terjatuh karena menabrak kursi di belakangku.

Tunggu, apakah telingaku bermasalah? Aku tak mengerti sama sekali. Bagaimana bisa? Rudchoff?

"Rudchoff, katamu?" Aku bertanya memastikan untuk kedua kalinya.

Kali ini jawaban Reynald lebih mantap dari sebelumnya.

Aku lantas berdiri, melangkah cepat ke arah kamar dari si kakek tua yang bertanggung jawab atas pemberian nama Reynald Rudchoff.

Brak

Aku membuka pintu tua itu paksa, terlihat kakek itu masih duduk di atas ranjang tidurnya. Dalam tatapannya aku melihat kilatan rembulan yang malam ini cukup terang.

Aku mendekatinya, meraih kerah bajunya dengan kedua tanganku. Aku ingin semua dijelaskan padaku.

"Kau! Apa kau tahu siapa yang berhak menyandang nama Rudchoff itu!?"

Ia terdiam sejenak, lalu memegang tanganku yang masih mencengkeram keras dekat kerah bajunya.

"Kau sudah besar ya, Zean. Teressa pasti sangat bangga denganmu."

Aku melepaskan cengkeramanku, tenagaku seperti langsung hilang begitu saja.

"Kau..!"

Dia langsung memelukku lembut, mengelus perlahan rambutku.

"Tak, apa. Ayah di sini, Zean. Maaf sudah meninggalkan kalian bertiga."

Aku tak bisa menangguhkan lagi air mataku. Aku membalas pelukannya lebih erat. Pelukannya sangat lembut, seperti ibu. Wajahku terbenam sepenuhnya ke dalam pelukannya.

Seolah-olah tahu apa yang ada di pikiranku, ayah merengkuh kedua pundakku lalu mulai membisikkan sesuatu,

"Zean, apapun yang terjadi ke depannya, percayalah pada dirimu sendiri, jangan mengikuti apa kata dunia, karena dunia telah kehilangan kewarasannya."

Ayah melepas rengkuhannya, matanya menilik dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Sembari tersenyum melihatku yang masih sesengukkan, ayah mengelus rambutku untuk kedua kalinya.

"Anak ayah sudah besar. Jangan lupakan pesan ayah, Zean."

Di belakangku, Reynald sepertinya sudah mengerti inti dari kegaduhan barusan. Ayah dan dia saling bertatapan sejenak.

Dengan tongkatnya ayah berjalan mendekati Reynald,

"Reynald, kenalkan ini adalah kakakmu."

Aku tertawa merasa canggung dengan perkenalan ini. Bagaimana bisa aku menjadi kakak dari seorang Reynald?

Dia juga sepertinya memiliki pemikiran yang sama denganku. Terlihat betapa sinisnya tatapan mata itu. Ya, bagaimanapun itu adalah Reynald yang selama ini kutahu.

"Dengarkan ayah kalian berdua! Aku tahu kalian masih belum bisa akur, tapi tetap, ayah harap kalian bisa saling melindungi." Ayah menatap Reynald,

"Aku sudah menganggapmu sebagai anakku, Rey, terlepas siapa dan darimana asalmu aku tak peduli. Aku hanya ingin kau mengejar apa yang kau percaya."

Sepertinya sudah waktunya untuk mengatakan semuanya pada ayah, tentang situasi kami sekarang. Aku bercerita tentang bagianku sedangkan Reynald menimpali dengan versinya.

"Aku tahu kondisi kalian buruk dengan pulangnya Reynald ke sini, tetapi aku tak mengira akan seburuk ini."

Ayah kemudian berjalan menuju kamarnya kembali, seolah tengah mencari sesuatu di atas meja dekat ranjang tidurnya.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang