6. Emilia

259 34 5
                                    

"Bersiap untuk tes pertama!" Wanita dengan baret hitam yang belum kuketahui namanya ini mulai memberi aba – aba.

Aku mulai mengangkut tas ransel besar yang sudah ada di depanku ini.

"Ugh!!" aku mendengar Wilhelm dan Arthur mengeluh saking beratnya tas ransel ini.

Aku merasa seperti sedang menggendong seekor babi hutan ukuran jumbo, ransel ini tak karuan beratnya.

"Bersiap!" Wanita itu mengganti aba – aba.

*Dor!!*

Suara pistol menggelegar dan sontak aku mengambil langkah untuk mulai berlari.

"Ah!! Sial!" Ingin rasanya aku bersumpah serapah, baru 50 meter melangkah kakiku mulai terasa keram. Tapi aku tak ingin membuat semakin cepat datangnya hukuman yang telah dijanjikan tadi. Kupaksakan kakiku meski terasa sangat sakit.

Aku tak tahu persis berapa jarak keliling pulau ini, yang jelas itu jauh.

Nafasku ngos – ngosan tak teratur. Kakiku mati rasa, dan aku sudah mulai tenggelam dengan peluhku yang entah sudah berapa liter. Kurang 500 meter lagi berakhir. Wilhelm masih berusaha bertahan dengan segala kekuatannya yang tersisa.

*Gubrak...*

Aku sontak menengok ke belakang. Arthur sudah jatuh tersungkur tak bergerak. Aku berjalan mendekatinya.

"Ayo Arthur, sedikit lagi!" Aku mencoba membangkitkan semangatnya.

"Per..gi...lah! A...ku su..dah t..ak-," Wajah Arthur sangat pucat.

"Ayolah!!" Aku mengangkatnya sekuat tenagaku tapi aku masih tak dapat menggerakkannya.

"Ayo, sialan!! Kau tak boleh membuatku dihukum di sini!!" Wilhelm dengan nafasnya yang tak karuan iramanya mencoba membantuku menggerakkan Arthur yang masih tergeletak tak berdaya.

"Aghhh!" Wilhelm dan aku mengerang, akhirnya Arthur dapat berdiri meski harus kubopong bersama Wilhelm.

Aku kembali berjalan lagi dengan sisa kekuatan yang ku punya. Beruntung sekali kami tak diberi hukuman soal kejadian tadi. Garis putih start kami tadi kembali terlihat.

Kami berhasil melewatinya, meski nafasku seakan akan berhenti. Aku yang sudah tak kuat langsung menjatuhkan diri ke tanah bersama Wilhelm dan Arthur. Kaki ku mati rasa tak karuan dan aku merasa sedang mandi dengan air keringatku sendiri.

Kami disambut gemuruh tepuk tangan dan teriakan semangat ketika berhasil melewati garis putih tadi.

"30 menit 10 detik! Apa kalian semua keong sawah?!" Wanita baret hitam itu menyalak pada kami.

"Istirahat 10 menit, lalu temui aku di barak!" Ia melengos sebelum akhirnya pergi menjauh.

Aku berusaha melepas ransel yang masih tergantung di belakang punggungku ini. Kupaksakan diriku duduk meski nyeri terlanjur menjalar ke seluruh tubuhku.

"Hey, itu tadi hebat!" Ian beranjak ke tempatku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

"Kalian lumayan untuk seorang pendatang baru." Ian melanjutkan kalimatnya.

"Lumayanlah untuk membuat kami mati." Wilhelm tertawa di sela – sela nafasnya yang tak lagi berirama.

"Yah, semoga beruntung dengan tes yang selanjutnya! Aku harus pergi sekarang." Ian melangkah pergi.

Masih tersisa 5 menit lagi sebelum jadwal yang ditetapkan seenaknya oleh wanita itu. Bahkan, sampai sekarang aku tak tahu namanya.

"Kalian sudah minum?" Aku mengambil sebotol air dan memberikannya ke Arthur dan Wilhelm.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang