21. Reunion

100 14 4
                                    

Lepas hari menjelang siang, Reynald memutuskan untuk bergerak ke arah Utara, keluar hutan. Aku mengikuti langkahnya dari belakang, tak ada pilihan lain.

Aku hanya masih belum menemukan penjelasan yang logis tentang apa yang membuat Lisa dan Emilia lantas mempunyai hawa membunuh padaku, sampai kalau bukan karena bantuan Reynald, mungkin jidatku sudah berlubang sekarang. Yang jelas, aku tak bisa kembali ke perkemahan untuk saat ini.

Aku jadi teringat pada orang Asia yang menyanderaku di hutan. Aku ingat sepintas namanya, Azagawa, kan? Hal itu terus menggangguku, mengingat ia saling kenal dengan Reynald dan juga yang paling menyebalkan adalah lencana terkutuk yang ia pamerkan padaku.

1 jam berjalan, kami beranjak melihat jalan setapak keluar hutan. Matahari sudah benar-benar di atas kepala ketika kami sampai di sebuah desa kecil tepat di perbatasan hutan. Aku hanya berjalan dengan diamku.

Desa itu tak begitu istimewa, seperti tipikal desa di daerah pedesaan wilayah Benelux pada umumnya. Orangnya jarang, dan hanya ada beberapa rumah di setiap ratusan meter.

Reynald tetap berjalan santai dan aku masih tetap mengikuti langkahnya. Sampai langkahnya terhenti di sebuah rumah tua berukuran kecil dengan pagar batu setinggi pinggang yang mengelilinginya. Ia membuka pagar kayu yang hampir lapuk dimakan usia itu. Saat berada tepat depan pintu, aku melihat ada asap tipis mengepul dari atas atap rumah itu.

Tanpa aba-aba ia langsung saja membuka pintu yang ada di depannya, kemudian masuk tanpa salam atau pun permisi. Seperti rumah sendiri. Dia memberikan tanda padaku untuk ikut masuk ke dalam.

Di dalam rumah ini tak ada yang istimewa, hanya ada perabotan-perabotan tua yang sudah mulai luntur warnanya.

Ia meletakkan semua barang bawaannya begitu saja di lantai, sambil mengambil segelas air yang kemudian ia siramkan ke perapian.

"Duduklah dimanapun kau suka, Zean." Tawarnya sembari ia memeriksa laci bufet yang ada tepat di belakang.

Aku meletakkan rifle beserta tasku di sebelah kepunyaan Reynald, dan menyandarkan tubuhku di kursi kayu dekat jendela.

"Apa kau lapar, Zean?"

Aku hanya mengangguk tipis, masih dengan ekspresi datarku.

Selepas itu ia mengangkat kembali laras snipernya lalu beranjak pergi tanpa berkata sepatah kata pun.

Aku yang tak mau ambil pusing hanya membiarkannya tanpa bertanya.

Lelah dan kantuk tiba-tiba menyerangku secara bersamaan, aku memutuskan menutup mataku sejenak.

"Hei, kawan. Hei, haloo?" Terdengar suara samar-samar yang memaksaku untuk membuka mata.

Aku mendelik sesaat ketika yang kulihat bukanlah Reynald, akan tetapi sosok tua dengan jenggot hampir seperut.

"Eh, siapa, kau?" Aku sontak saja menanyakan identitasnya.

"Memang anak muda sekarang sepertinya sudah kehilangan tata krama mereka, ya?" Balasan ketus itu yang kudapat.

"Apa kau teman dari Reynald?" Lanjutnya.

"Eh, bisa dibilang begitu, tapi bisa juga tidak." Aku hanya mengatakan apa yang keluar dari kepalaku.

"Baguslah kalau begitu."

Aku tak mengerti apa yang bagus dari perkataanku barusan.

"Lancangnya dirimu, nak. Membiarkan orang tua harus bertanya namamu!" Sontak ia mengacungkan tongkatnya, tepat mengenai dahiku.

"Zean, kek. Zean Rudchoff." Aku sontak menjawab. Apa lagi yang bisa kulakukan?

Wajah kakek itu sontak kusut, seakan-akan terkejut ketika mendengar namaku barusan.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang