15. Ambush

134 19 4
                                    

Vote and Comment Please!

Thanks!

***

"Baiklah, ini yang akan kita lakukan." Kapten Billy membuka suaranya.

***

"Terlihat sangat licik kalau kau tanya pendapatku." Reaksi Wilhelm cukup terkejut dengan pola rencana yang dibuat Kapten Billy.

Aku tak menyalahkan Wilhelm jika berkata seperti itu. Tapi di sisi lain, strategi ini mungkin yang terbaik untuk meminimalisir korban di pihak Night Crimson.

"Baiklah. Aku, Ian, dan Wilhelm akan ikut dengan tim utama. Sisanya, akan kuserahkan pada kalian. Aku memilih kalian bertiga sebab aku menilai kalian adalah yang paling lincah di antara yang lain." Vouwen memberikan arahannya pada kami.

Jadi, aku akan dijadikan satu tim dengan dua gadis sadis ini. Siapa lagi kalau bukan Lisa dan Emilia. Ah, yang benar saja!

Aku menghela nafas panjang, seakan penderitaanku masih belum cukup. Apa ada dosa besar yang kulakukan di kehidupan sebelumnya, ya? Aku tak habis pikir.

"Yosh, segera laksanakan!" Vouwen membubarkan koordinasi kecil antara kami ber enam.

Segera setelah tim Kapten Billy menyudahi koordinasi dengan tim utama, kami pun berangkat. Wilhelm dan Ian melambaikan tangan padaku sebelum akhirnya kami berpisah di persimpangan dekat sungai.

Tim utama yang terdiri dari 10 orang, termasuk Kapten Billy, Vouwen, Wilhelm, dan juga Ian. Mereka pergi untuk bersiap untuk penyergapan, sementara Emilia, Lisa, dan aku punya misi khusus, unik, sekaligus memacu adrenalin.

Ini adalah rencana Kapten Billy, tidak mengerahkan seluruh kekuatan Night Crimson untuk meminimalisir korban, sekaligus memaksimalkan kemampuan gerilya. Taktik gerilya akan maksmimal jika tidak melibatkan banyak orang. Di dalam hutan, jumlah bukanlah masalah. Semua tentang strategi.

Kami berjalan ke Timur, menuju arah musuh, sekaligus mencari keberadaan Reynald, dan Sersan Vicky. Lisa memegang SMG kesayangannya : Sten Mk.IV, Emilia pun sama. Hanya aku saja yang berstatus memegang senjata rifle.

"Hey, Zean!" Emilia menyalak padaku.

Aku memasang ekspresi datar, padahal jantungku berdegup kencang setiap ia menyalak padaku.

"Jangan jadi beban." Lanjutnya singkat. Kalimatnya hanya terdiri dari tiga kata. Tapi sakitnya menusuk hingga ke tulang. Ini mungkin yang namanya sakit, tapi tak berdarah. Aku menjawabnya dengan tawa sinis.

Langkah kami terhenti, ketika Lisa yang memimpin regu kami memberi tanda dengan tangannya.

Langkah kaki dengan dua bercak cahaya senter mengembang di balik pepohonan. Dua orang tentara, seperti memeriksa keadaan sekitar.

"Mereka mungkin mendirikan perkemahan di sekitar sini." Ucap Lisa penuh keyakinan.

Lisa dan Emilia merunduk, kemudian mengganti senjata mereka dengan belati perak khas itu lagi. Mereka menunggu di balik pohon tak jauh dari kedua tentara itu. Bergerak dalam kegelapan seperti ninja.

Aku bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari posisi mereka, menyiapkan rifleku mengarah tepat untuk menembus tengkorak musuh. Bersiap menembak kapanpun dibutuhkan.

Tak lama berselang, kedua tentara itu melewati pohon tempat Lisa dan Emilia menyiapkan belatinya.

Clek

Belum sempat mereka mengedipkan matanya lagi, kedua tentara itu sudah tergulai jatuh tersungkur bersimbah darah. Tanpa kesulitan berarti belati tajam berhasil menggorok leher dua tentara itu. Aku tak mempunyai kata-kata lagi untuk menggambarkan kengerian dua wanita ini. Mereka menyeret mayat dua tentara itu ke balik pohon. Kemudian membersihkan belati mereka.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang