20. Kesepakatan Buruk

103 11 10
                                    

Rasa dingin mengular turun dari puncak kepalaku, aku mengerjapkan mataku beberapa kali sebab pandanganku yang masih tak dapat dikatakan jelas sepenuhnya.

"Ah, sampai kapan kau akan tertidur di sana, kawanku?"

Aku mendengar suara, masih terlalu remang untukku bisa mendengar.

"Hei, kau dengar aku?"

Aku mendengarnya lagi, kali ini lebih jelas. Pengelihatanku perlahan menyatu, tidak seperti 10 detik yang lalu.

Mataku mulai menampakkan seorang pria berambut hitam pekat, duduk menyilangkan kakinya di atas kursi kayu tanpa ukiran. Matanya, hitam pekat seperti rambutnya, tapi wajahnya putih mulus seperti orang Eropa kebanyakan. Hanya saja, aku lantas menyimpulkan bahwa dia bukan orang Eropa dari logatnya bicara dan matanya yang sipit.

Aku mendapati diriku terbaring miring di atas lantai cokelat yang sepertinya terbuat dari papan kayu. Aku menggerakkan tanganku, tak bisa. Kedua tanganku yang tersilang di belakangku sepertinya tertahan oleh tali tambang yang tersimpul rapi tapi cukup ketat.

Aku enggan mengeluarkan suara, meski hanya sepatah kata. Pandangan tajamku terus kutujukan pada pria yang mulai bergerak dari tempatnya semula. Sebentar lagi pasti dia akan bicara tujuannya.

"Hei, Zean, ada apa dengan tatapanmu itu? Bukankah aku sudah mengucapkan salam perkenalan tadi?" dia berjongkok, menatapku lurus dengan bibir yang menunjukkan senyuman.

"Baiklah, akan kuulangi lagi. Hajimemashite, Zean Rudchoff."

Hajimemashite? Tunggu, aku pernah dengar kata itu, Bahasa Jepang? Entahlah, tapi yang jelas itu menjelaskan mata sipitnya. Tak tahu siapa pria ini, akan tetapi jika dilihat dari perawakannya dia pasti orang militer. Tapi perkara ia yang tahu betul namaku, aku tak punya penjelasan pasti tentang itu.

Dia megusap-usap rambutku.

"Aku iri dengan rambutmu, Zean. Bagaimana kau merawatnya?" Aku tak suka ini, dia terlalu banyak berbasa-basi.

"Cukup basa-basi ini, apa maumu?!" Selidikku padanya.

Dia menanggalkan senyumnya, berdiri kembali, lalu menghampiri meja kerja yang ada di sudut ruangan itu. Ia membuka laci di bawahnya.

Tunggu dulu, dari sisi ini aku seperti pernah melihat dia sebelumnya, pria ini. Namun, kepalaku masih terlalu pening untuk bisa mengingat kapan dan dimana kejadian itu.

Dia berjalan perlahan menghampiriku lagi, melemparkan sesuatu ke lantai tepat satu langkah di hadapanku.

Sebuah lencana?

"Sepertinya untuk menjalin hubungan khusus kita, aku perlu menunjukkan identitasku." Jelasnya.

Lencana perak berbentuk lingkaran, dengan logo elang dan swastika di sisi kiri, dan huruf SS di sebelah kanannya.

"SS? Schutzstaffel?"

Ia menunjukkan kembali senyumnya yang sepertinya penuh misteri itu.

"Bagaimana MI 7? Apa kau mau mendengarkanku?"

Tatapanku padanya semakin tajam, aku hanya berpikir bagaimana caraku bisa kembali ke Emilia dan Lisa.

"Apa maumu?!" Aku menyalak lagi, tapi dengan nada lembut kali ini. Setidaknya aku ingin tahu apa motifnya melakukan ini semua.

"Aku suka tatapanmu itu, mengingatkanku pada seseorang. Tenang, hari ini aku tak ada tugas membunuh siapapun." Dia meraih sesuatu di antara sela jaket kulit abu-abunya itu.

Sebuah foto kecil berukuran 4x6 ia tunjukkan lurus padaku. Dengan gayanya yang cukup congkak itu aku menatapnya sejenak sebelum mengarahkan pandanganku ke foto yang dia maksud.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang