11. MI 7

137 25 2
                                    

Dua hari perjalanan, kami akhirnya tiba di London. Bergerak menuju markas MI 7 yang aku sendiri sangat penasaran bagaimana wujud dari markas besar intelijen terbesar di Inggris ini.

Yang kubayangkan adalah gedung besar bergaya modern dengan berbagai macam ornamen mewah mengelilinginya.

"Yosh, kita sudah sampai." Vouwen menuntun kami menuju ke arah sebuah gedung apartemen berlantai tiga yang tepat berada di tengah kota. Dengan rupa gedung yang.. Ah kira-kira pantas disebut apa gedung ini.

"Di sini?" Wilhelm yang pertama kali membuka suara mewakili kami semua.

"Bangunan kumuh ini?!" Ian menambahi.

Vouwen tanpa membalas mereka berdua, terus berjalan menuju gedung tadi. Rumput liar menyambut kami di halaman apartemen, tak kalah dengan kilauan hijau yang dihasilkan lumut di seluruh tembok luar akibat sinar matahari pagi. Bangunan ini tampak kacau, sepertinya tak berpenghuni selama bertahun-tahun.

Aku mulai berpikir bahwa ini adalah gurauan lain Vouwen pada kami. Hanya saja, ia tidak mungkin bergurau di saat seperti ini. Oleh sebab itu, aku lebih memilih diam dan mengikuti langkah Vouwen.

Kulihat Vouwen hanya mengetuk pintu sekali, kemudian langsung menerobos masuk tanpa diiringi kata permisi diikuti si baret hitam yang melangkah dengan yakin.

Ian dan Wilhelm masih berdiri mematung di depan pintu, mendongak ke atas, menyaksikan betapa 'sempurnanya' gedung ini disebut sebagai markas pusat Mi 7.

"Ayolah, kalian!" Arthur mendorong kepala mereka dari belakang.

"Selamat datang anak muda, apakah ada yang bisa saya bantu?" Entah dari mana, seorang nenek tua dengan tongkat rapuh datang menghampiri kami.

"Selamat pagi, nenek. Cuaca cerah pagi ini, tapi aku lupa payungku." Vouwen membalas sapaan nenek itu. Hanya saja, jawaban itu agak tak masuk akal.

Nenek itu manggut-manggut, kemudian berbalik menuju arah rak buku yang lumayan besar, lalu menarik buku bersampul merah yang tepat berada di pojok kanan lemari.

"Woah!" Aku melongo melihat kejadian yang baru kali ini aku saksikan.

Rak besar itu bergerak ke atas, menampakkan lorong panjang dengan lampu-lampu berwarna kuning keemasan yang memenuhi langit-langitnya, lengkap dengan lantai yang dibungkus karpet merah yang amat terkesan mewah.

Kurasa aku mulai mengerti bahwa sapaan tadi sebenarnya adalah kode rahasia yang disisipkan secara halus untuk meminta tolong pada sang nenek. Dapat dipastikan kalau nenek tua ini adalah agen MI 7 juga. Benar-benar hebat imajinasi mereka!

"Terimakasih, nenek." Ucapnya.

Kami lantas masuk ke lorong itu. Beberapa saat kemudian, terlihat sebuah dinding kaca dengan lambang mahkota dan dua singa yang mengapitnya, serta tulisan 'MI7' di bawahnya.

Aku hanya bisa berdecak kagum melihat ini semua.

"Mundurlah." Ucap Vouwen pada kami.

Kulihat ia berdiri tegap di depan dinding itu. Ia kemudian meletakkan kedua tangannya di atas kaca itu.

*Nyitt...*

Dinding kaca itu berdecit. Yang benar saja, seketika itu muncul sebuah alat kecil berbentuk kubus dengan lampu hijau yang berkedip-kedip di tengahnya.

"Ehm.. Tidak semudah itu Fergusso!" Vouwen berteriak di dekat alat itu.

Alat itu mengeluarkan suara aneh bersamaaan dengan dinding kaca itu mulai membuka membelah menjadi dua.

Aku bisa melihat ekspresi teman-temanku yang sama terkagum-kagumnya seperti diriku. Kecuali si baret hitam, yang memang dari tadi hanya memasang wajah biasanya itu.

Reckless World : World War IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang