Chat

207 37 2
                                    

Denting notifikasi berbunyi sekali di antara suara air mendidih di panci, denting sendok sayur, detak bara api menyala, dan riuh siaran pagi radio. Aplikasi berikon hijau menampangkan pop up pesan masuk.

Kaminaga
Add | Block

Kaminaga
Halo^^

Selamat pagi, Kaminaga-san
Ada apa?

Kaminaga
Petugas angkut barang mencarimu
Kau ada di tempatmu sekarang?

Tunggu sebentar, aku ke sana

Mereka datang sepagi ini? Astaga tidak ada yang menelponku kemarin memberitahukan hal ini, aku juga lupa bilang sudah pindah ke lantai tiga. Kusambar jaket kupluk setelah memastikan kompor gas mati, cepat-cepat naik ke lantai lima sambil membenarkan jaket dan merapikan rambut. Duh, kuharap tidak ada aroma masakan menempel di badan.

Begitu tiba di lantai lima, dari kejauhan Kaminaga tengah bicara dengan satu petugas angkut, lalu ditinggal masuk mengeluarkan piano. Pemuda itu menyandar pada besi pembatas di koridor terbuka, menyundutkan api ke ujung rokok. Masih dengan pakaian tidur; kaus lengan panjang kusut dan celana training.

“Kaminaga-san, maaf menunggu.” Aku sedikit mengernyit melihat asap rokok membumbung membentuk kepulan kelabu terbang ditiup angin. “mereka sudah datang daritadi ya?”

“Tidak masalah, mereka baru saja tiba. Sekarang sedang mengeluarkan pianonya.” Rokok yang belum ada separuh terbakar dijatuhkan, diinjak sandal lalu dibuang. Wajahnya tampak kuyu, kantung mata menghitam seperti kurang tidur, rambut cokelatnya seperti habis disaput angin—super berantakan. Kaminaga menguap sekali, menarik lengan ke atas melakukan peregangan hingga kaus bagian bawahnya tertarik naik dan aku merasa sangat salah karena melihat sedikit perut malu-malu mengintip.

“Omong-omong dapat nomorku darimana?”

“Dari petugas angkut. Mereka tidak bisa menelponmu karena ponsel mereka habis daya.”

Dua petugas keluar mendorong piano, berhenti sebentar bicara pada kami—lebih ditujukan kepada Kaminaga—mengatakan pianonya bisa dipindah lewat tangga memakai papan kayu. Akan ada petugas lain yang membantu memindahkan piano, berarti ada total empat orang—tiga memindah piano, satu mengawasi tangga.

“—begitu? Ah iya, saya ikut,” dua petugas membawa piano lebih dulu disambut dua petugas lain di tangga. Piano hitam didorong perlahan-lahan, diterima dua orang lain. “kalau begitu aku permisi. Sebaiknya Kaminaga-san tidur lagi saja.”

Ia mengerjap lamat-lamat seperti mengawasi para petugas. Tubuh dibawa menegak, melangkah menduluiku. “Kuantar saja,” katanya diselipi senyum yang sukar dipahami maksudnya. Langkah kaki berbalut celana training lebar-lebar menapaki koridor, menuruni dua anak tangga sekaligus mengejar petugas angkut.

Aku membukakan pintu, membiarkan petugas-petugas mendorong piano ke satu spasi kosong di ruang tengah, satu tempat lapang dekat jendela besar menuju balkon. Kaminaga menunggu di luar, balas tersenyum sopan ketika petugas angkut berpamitan.

“Sudah?”

“Iya. Err ….” Aku menggaruk pipi kikuk, memosi pintu dengan ibu jari. “Kaminaga-san mau sarapan di sini? Kupikir kau baru bangun jadi ….”

Gestur ibu jari dan telunjuk mencepit dagu, satu tangan lain berkacak pinggang, Kaminaga tampak menimang-nimang ajakanku. “Sepertinya tidak kali ini,” tuturnya.

“Oh, tidak masalah. Emm, kalau begitu kapan-kapan saja?”

“Tentu.” Kaminaga mengangguk. “Kabari saja aku.”

“Oke. Aku … masuk dulu,” pamitku. Kaminaga sudah pergi. Pintu di belakangku berdebam menutup, terkunci rapat. Aku melewati lorong pendek penghubung genkan dan ruang tengah, menatap tumpukan kardus dekat sofa. Untung Kaminaga tidak mengiyakan ajakan sarapan, dia tidak harus melihat betapa berantakan tempat ini. Kuletakkan jaket ke hanger di pintu lemari, mengikat rambut, lalu mengangkat panci sayur ke meja makan. Dalam diam aku menciduk rice cooker, membuat gunungan nasi di mangkuk makan. Televisi berkedip menyala, menampilkan berita, layar berkedip saat berganti saluran. Pada akhirnya kembali ke saluran berita yang tidak sepenuhnya kulihat, alih-alih menonton berita kasus korupsi pejabat perhatianku tertuju pada layar ponsel.

Hmm, omong-omong aku tidak tahu makanan kesukaan Kaminaga. Kami tidak pernah mengobrol sampai topik makanan favorit sebelumnya, apa dia lebih suka makanan basah atau kering, apa dia makan nasi, atau mie, atau roti, apa dia lebih suka kopi atau teh, atau cokelat panas saja. Apa sebaiknya beli daging saja?

Ah, aku bisa tanyakan kapan-kapan. Toh, sekarang aku punya kontaknya.

Harusnya update kemaren, tapi nggak ada kuota jd sekarang up dengan memanfaatkan kuota malem.

Btw ternyata kemarin itu debut daynya TOJ hahaha, lama juga ya itu cerita (mana nggak tamat2 lagi).

Jadi, bakal ada kemungkinan seri ini lebih laju dari TOJ. Habis, enak bgt ngetiknya, lebih enteng gmnnn gitu.

Ga deng, TOJ masih ada beberapa chapter lagi, habis itu tamat JADI SIAP-SIAP UCAPKAN SAYONARA HAHAHA/apasi

Sekali lagi, makasih para pembaca, voters, dan commentnya di sini sama di lapak sebelah. Sampe ketemu di TOJ dan di chapter berikutnya!

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang