Don

211 37 14
                                    

Senin sore, stasiun dipenuhi pegawai kantoran, siswa berseragam. Hari pengawal minggu baru selalu menjadi hari tersibuk sejak pagi sekligus jadi hari yang paling tidak disukai kebanyakan orang. Kereta yang kutunggu datang, para penumpang sebelumnya keluar, menyebar ke segala penjuru stasiun. Harusnya aku menumpang mobil Shimano saja tadi bersama yang lain daripada berdesakan dalam kereta.

Baru masuk kereta kudapati semua kursi penuh, agak kesusahan mencari tempat kosong. Aku menggeleng, menolak tawaran kursi dari seorang anak perempuan yang duduk di sebelah kakeknya. Memilih berdiri di spot kosong dekat anak itu.

Pintu kereta tertutup kemudian, meninggalkan stasiun menuju pemberhentian berikutnya. Gadis itu minta bertukar tempat duduk dengan kakeknya, menarik ujung bajuku.

"Oneesan baru selesai kerja?" Tanya anak bernama Emma itu.

"Iya. Emma-chan mau pergi dengan Kakek?"

"Kami habis melihat pertunjukan teater!" Kata gadis itu ceria. "Ano ne, tadi Katsuhiko-san main lagi."

"Katsuhiko?" Aku mengerutkan kening, tidak begitu paham aktor-aktris teater. Boro-boro, nonton saja belum pernah.

"Maki Katsuhiko, 28 tahun, bintang teater kota," sahut suara familier di sebelahku diikuti gumam single. No roommate.

Rupanya Kaminaga, berdiri tegar tanpa berpegangan. "Dia jadi buah bibir, banyak yang membicarakan bakat beraktingnya."

"Memang apa saja yang dimainkan teater kota?"

"Biasanya sih karyanya Shakespeare dan legenda Jepang. Kadang pakai naskah sendiri."

"Katsuhiko-san sangat keren, lho!" Timpal Emma bersemangat.

"Hm, benarkah? Emma-chan sering ke teater melihatnya bersama Kakek?"

Gadis itu menggeleng lucu, mata birunya berbinar secerah laut ditimpa sinar surya. "Kadang bersama Paman Lumba-lumba!"

"P-paman apa?" Baik aku dan Kaminaga membeo, bertukar tatapan bingung.

"Anakku," jawab pria lewat usia setengah abad yang sejak tadi diam.

"Paman bisa memanggil Lumba-lumba, lho. Tinggal bersiul seperti ini." Emma memeragakan bersiul dengan jari tengah dan ibu jari menyatu membentuk lingkaran menempel bibirーtak ada siulan melengkingーEmma membunyikan suara siulan dibuat-buat.

Kereta bergoncang di stasiun pemberhentian pertama, penumpang kian bertambah sekitar lima orang menambah sesak gerbong. Kondisi gerbong lain tak jauh beda, disesaki penumpang. Aku refleks memegangi dinding, agak merapat ke sana.

Bunyi debam kecil mengalihkan atensiku, pada satu telapak tangan yang bertumpu dekat kepalaku.


"Ah, maaf. Apa aku menabrakmu?"

Ini Kaminaga, telapak tangan bertumpu dekat kepala, badan agak merapat padaku. Seketika aroma kayu manis menusuk penciuman.

"Tadi ada yang mendorongku. Kau baik-baik saja?" Kaminaga agak menunduk, mensejajarkan mata kami. Tangannya belum berpindah dari sisi kepalaku.

"B-baik. Ya, errーaku tidak apa-apa. Santai, haha." Kualihkan padangan menatap apapun selain wajah Kaminaga. Panas ini entah berasal dari sesak di sekitarku atau karena minimnya jarak kamiーatau dari embus napas di pucuk kepalaku.

Pemuda ini berdeham, satu tangan menelusup masuk saku celana sementara yang di sisi kepalaku tidak berpindah. Penumpang lain saling desak mendorong punggung Kaminaga semakin dekat padaku.

"Hei," Kaminaga berbisik. Kelopak matanya merunduk menatap ke bawah, lengan semakin tertekuk seiring ia memangkas jarak. "pipimu merah."

Ini harusnya up kemaren. Tapi kemaren lagi mager buka wp terus sekaliny buka wp notif penuh banget untung nggak hang ini hape :<

Btw makasih para pembaca di Upstairs dan di TOJ untuk vote dan komennya. Sampai ketemu di chapter selanjutnya♥🃏

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang