Vanilla Latte

128 34 3
                                    

Jalanan kota di sore hari ini sangat lancar. Uap muncul dari celah bibir sewaktu aku membuang napas tipis. Suhu hari ini lebih hangat dari kemarin dan tidak ada hujan salju mengguyur. Warna merah muda mendominasi kota seiring semakin dekatnya hari kasih sayang. Kaum hawa memenuhi toko-toko bahan makanan, supermarket, atau toko manapun yang menjual serba-serbi cokelat. Aku duduk sendirian di bangku kayu, mengusap tangan ke telinga.

“Maaf lama.”

“Terima kasih,” balasku. Bangku berkeriat di sampingku menandakan orang yang baru datang turut bergabung duduk. “Apa tempatnya sedang ramai?”

Maki menurunkan masker hingga dagu, menaikkan sedikit topi rajut yang merosot sampai mata. Bagi orang lain, saat ini aku terlihat duduk bersama pemuda normal. Nyatanya salah besar karena yang duduk di sampingku sekarang adalah Maki Katsuhiko yang sedang menyamar. Rambut cokelatnya yang biasa tertata sangat rapi bertransformasi menjadi gaya rambut normal dengan poni menutupi alis mata sedikit disisir ke kiri. Setelan jas formal yang menjadi gaya berpakaiannya lenyap. Sekarang Maki hanya memakai parka hitam, syal biru gelap, jeans, dan sepasang sneakers. Benar-benar berbanding terbalik dengan seorang Maki Katsuhiko sampai aku tadi mengira dia salah orang saat mendatangiku entah dari mana.

“Bagaimana kabarmu?” Tanyanya.

“Baik, tetapi lumayan heboh sejak seminggu terakhir. Maki-san apa kabar? Kudengar tim produksi film memintamu ikut proyek mereka?”

“Begitulah. Sama sepertimu, baik dan sedikit hectic.” Bahkan orang-orang yang lewat tak sedikitpun menoleh pada wajah yang tidak lagi ditutupi masker dan topi.

Kami bertukar cerita keseharian. Dimulai dari diriku yang jam kerjanya kacau karena kedapatan jatah menggantikan jam kerja Shimano hingga datangnya penghuni baru bernama Sakuma. Maki tidak bercerita banyak, sesekali ceritanya disela tenggakan minuman hangat. Aku menyimpan gelasku di tangkupan tangan, meresap hangatnya ke telapak yang nyaris beku. Selanjutnya kami terdiam.

Sudah satu setengah tahun semenjak hari itu. Ada sangat banyak yang berubah. Satu per satu penghuni apartemen berganti, ada yang pergi, ada yang datang. Mendatangi gedung teater menjadi sebuah kebiasaan baru bagiku, setiap akhir pekan kujadikan waktu untuk me time menonton pertunjukan apapun dan diakhiri makan pasta krim di Tacenda.

Pramusaji yang menghapal menuku saat ini sudah mengundurkan diri, digantikan seorang pramusaji kikuk yang katanya baru beberapa hari bekerja. Hampir semuanya berubah kecuali, well, mungkin diriku. Rasanya terlalu berlebihan mengatakan aku patah hati parah dan gagal move on. Tidak seburuk itu kok, aku masih bekerja seperti biasa, masih menyempatkan berkumpul di ruang tengah, dan masih suka bertengkar dengan Shimano soal tisu bergambar tikus.

Baik Hana, Ayano, maupun Rinka perlahan tak pernah lagi membicarakan Kaminaga. Selalu ada obrolan baru di ruang tengah. Dia seperti berada di antara ada dan tidak ada. Berkat itu aku bisa berdamai sedikit dengan keadaan, membiarkan segalanya berjalan dengan sangat baik.

Aku menenggak isi gelas, mencecap rasa asing dalam mulut. Keningku mengernyit. Aku membuka penutup gelas untuk melihat isinya.

“Kau tidak suka Vanilla Latte-nya?”

“Enak, kok. Tadi kupikir ini cokelat panas,” balasku sambil kembali minum.

“Biasanya apapun rekomendasi Kaminaga tidak pernah mengecewakan.”

Mendengar itu aku tersentak, menoleh pada Maki. “Ini rekomendasinya?”

“Hm. Dia sedang keranjingan minum Vanilla Latte.” Kubalas dehaman. Sekali lagi kucicipi rasa minuman ini. Maki terlihat ingin mengatakan sesuatu. Apa yang membuatnya tidak langsung bicara, itu yang tidak kutahu.






“Apa kau sudah bertemu lagi dengan Kaminaga?”

“He, dia sudah kembali?”

“Entahlah,” jawabnya. “Terakhir aku bicara dengannya via telepon itu enam bulan lalu. Setelah itu lost contact, dia tidak ada kabar sama sekali.” Rupanya kebiasaan misterius itu masih ada. Aku heran, apa yang dilakukannya sampai punya kebiasaan suka menghilang lama.

“Hm … mungkin karena pekerjaannya?” Tebakku.

“Yah, bisa saja.” Terakhir, Maki meremukkan gelas minumnya sebelum berdiri tegak. “Jadi, apa minuman rekomendasi Kaminaga cocok denganmu?”

“Aku menyukainya.”

Biner cokelat melirik sekilas, kembali menatap jalan. Kelopak mata kemudian menyembunyikan lumer cokelat disertai senyum kecil. Maki melempar masuk gelas bekas ke tong sampah. “Baguslah.”

Halo, ini maksudnya suka apa atau suka siapa ye?

Halo, selamat hari Sabtu!

Dari kemaren terkena gangguan tidur gegara rumah sebelah dipake shooting sampe tengah malem dan mereka ketawa-ketiwi sante aja aku sampe marah hhh.

Ngga tau mau bilang apa lagi nih. Yaah, intinya jangan lupa bahagia setiap hari ya, selamat menjalani hari libur (ciaaa malem minggu neh). Makasih buat yang udah membaca, memberi votes, dan ngeramein kolom komen. Btw ini belum tau bakal bisa update Asmaraloka atau enggak (kuota sekarat :')) tapi didoakan saja semoga bisa update. Sampai ketemu lagi, bye! ♥

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang