Kelabu

191 36 9
                                    

Terkadangーini sangat jarang terjadi, dihitung dengan jaripun pasti bakal terlupa sampai mana dihitung saking jarangnyaーkursi panjang di ruang tunggu kehilangan beberapa penghuninya; terlarut dalam kesibukan masing-masing. Tiga mahasiswi dirundung tugas, Sakura bepergian menemani pacarnya mencari objek foto, Akane pulang malamーlangsung tidur, menolak berkumpul saking lelahnya, Ryoko kebagian shift sore rumah sakit. Di saat seperti ini lantai sangat sepi, sunyi menggaungkan tiap suara.

Punggung berbalut kemeja putih terlihat dari belokan menuju ruang tunggu, duduk di antara kosong ruangan, menopang dagu menatap keluar pintu kaca besar ditemani bau tembakau dan asbak kelabu di sisi. Kaminaga duduk menyendiri menatap langit kelabu. Setelah hari itu dia menghilang tiga hari lamanya, tidak tampak berkeliaran di sekitar apartemen, studio fotonya gelap saat kulewati dua hari lalu.

"Kaminaga-san?"

Ia tetap menatap lurus jendelaーpada pantulan bayangan kami.

"Dari perpustakaan?" Ia bertanya, melepas apitan rokok di bibir, berdiri menjulang di hadapanku untuk menutup pintu kaca yang terhubung dengan kebun mini pemilik apartemen. Sedikit demi sedikit asap tipis berbau tembakau menyurut, aku berterima kasih dia cukup peka dengan ketidaksukaanku terhadap rokok.

"Untung kau kembali sebelum hujan." Kaminaga menutup lagi pintu setelah memastikan tak ada bau rokok tertinggal.

"Benar, tadi aku sudah takut kehujanan di jalan. Kalau pulang dengan Shimano-kun sih tidak bakal kena hujan."

Alis mengerut dalam bingung. "Shimano?"

"Teman sesama pustakawan," balasku. "Kaminaga-san mau minum sesuatu? Kubuatkan di pantry."

"... Kopi saja, tanpa gula," pintanya.

Kurasakan tatapan di belakang sana, lurus menatapku hingga menghilang di belokan. Pun, tetap melihat ke pintu ruang tunggu, tak mengalihkan tatapan sedikitpun walau segelas kopi hitam pesanan sudah tiba.

Untuk kali ini aku tidak menyukai tatapan Kaminaga. Sejak pertama mengenalnya karena pouchku tertinggal, mata Kaminaga tak pernah memandang sekelabu awan di luar sana.

"Yang lain sudah kembali belum ya ...." aku meletakkan gelas kopi di depan Kaminaga lalu beranjak menarik kursi di sebelahnya.

"Aku tidak melihat siapapun datang sejak tadi."

"Mereka pasti sibukーapalagi mahasiswi-mahasiswi itu. Dirundung tumpukan tugas, belum lagi magang, setelah itu menyusun tugas akhirーdisibukkan oleh hal yang lebih berat dari tugas kuliah," Aku meniup-niup isi gelas. Likuid teh beriak ke tepian, menabrak dinding gelas, berkumpul lagi di tengah-tengah. "Omong-omong kau dari mana saja?"

"Dipanggil atasan." Kaminaga mendengus di bibir cangkir, menenggak lamat kopi pahit.

"Pekerjaanmu tidak berjalan dengan baik?"

"Semuanya berjalan lancar. Hanya saja ...."

"Hanya saja?" Ulangku penasaran.

Bunyi gelas menatap permukaan meja duk agak keras. "Bukan apa-apa. Sebenarnya sejak tadi aku mau tanya sesuatu padamu."

"Ng, apa itu? Tanyakan saja."

Aneh, perasaan menggelenyar menggerogoti badan seharusnya tak ada. Mengemuti sekujur tubuh kala sepasang mata kelabu semendung langit luar lurus mengamatiku.

"Kau sadar punya cemong lipstick tidak sih?"

"H-hah? Lipstick? Yang benar?" Panik, jempolku mengusap sekitar bibir mana saja yang punya bekas cemong warna merah muda.

Tawa Kaminaga seperti jari-jari sinar matahari mencakari awan mendung. Tangan terjulur mengusap sudut bibir. "Berhenti bergerak dulu. Lihat, ada cemongnya di sini."

Ibu jari itu bergerak halus, menyapu tepian bibir. Lama kelamaan merambat naik ke bibir bawah. Sedepa jeda kemudian baru kusadari wajah kami begitu dekat.

Dekat, tapi hangat.

Jangan tanya padaku mulanya bagaimana. Kaminaga keburu menarik wajahku agak mendongak bertemu deru napas hangat, sepasang mendung kelabu, dan halus bibirnya menciumku.















"... Kenapa?"

"Karena aku menginginkanmu, tapi tak bisa memilikimu."

Hai (lagi).

Mulai minggu depan up sesuai jadwal lagi muehehehe. Sampai ketemu lagi, babay!

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang