Pasta

168 38 22
                                    

Gemerlap gedung opera perlahan berkurang, kerumunan penonton dan penggemar para aktor-aktris meninggalkan gedung, menyisakan satu dua. Aku dan Kaminaga menjadi rombongan terakhir yang keluar paling belakangan sekaligus paling lama. Ternyata Maki Katsuhiko ini teman Kaminaga, entah teman macam apa mereka tidak mengatakan apapun, malah bertukar senyum mencurigakan. Keduanya mengobrol sebentar, kasual menanyakan kabar, bagaimana pertunjukan sebelum ini, bagaimana keadaan studio foto.

"Kau sudah bertemu Hatano?"

"Sudah." Kaminaga melontar lirik singkat yang ambigu, ditujukan padaku. "Tiga kali."


Selepas itu aku dan Kaminaga sama-sama baru ingat kami belum makan malam. Kaminaga langsung ke stasiun tanpa sempat makan malam, aku hanya mengganjal perut dengan roti melon sisa belanja. Malam sudah larut, aku ragu masih ada kedai atau restoran buka dekat sini.

"Mau langsung kembali? Atau makan dulu?" Ibu jari memosi sebuah kedai kecil.

Tentu. Aku mengiyakan, berjalan beriringan memasuki kedai kecil bernuansa pondok. Cuma ada sedikit pelanggan, ditemani alunan Way Back Home versi instrumental, aroma pasta dan coklat panas bersatu padu. Panorama musim gugur bagai disayat, dijadikan lukisan dengan jendela etalase di sisi meja, dedaunan berguguran saat musim gugur semakin tua, siap menerima limpah kristal salju.

"Mohon maaf, makanan yang tersisa hanya pasta."

"Tidak apa. Pasta dan coklat panasnya dua," pesan Kaminaga. Menunggu pesanan datang aku menyempatkan membalas pesan heboh separuh girang dari Akane menanyakan jalannya pertunjukan, bertanya apakah aku mendatangi aktor atau aktris lain, terakhir dia luar biasa senangーsampai menangisーsewaktu kukirimi foto selfie Maki Katsuhiko, (ー"Tokubetsu service," begitu Maki bilang, sambil tersenyum dan mengedip sebelah mata.) Kaminaga tak bersuara, memangku dagu memandang hamparan pemandangan musim gugur yang menua. Bukan sekali dua kali saja aku merasa ia melontar lirikan.

Pesanan datang. Dua pasta dengan irisan daging asap dan lelehan krim susu, disertai sebotol keju bubuk, saus sambal, dan saus tomat. Dua cangkir lebar coklat panas diletakkan bersama semangkuk kecil gula pasir putih.

"Aku sering lewat sini, tapi belum pernah makan di tempat ini," celetukku.

"Tempat ini kecil tapi sangat nyaman, makanannya juga enak," tutur Kaminaga. "Aku sering makan bersama Maki dan teman lain," tambahnya.

"Apa kalian habis menonton pertunjukan Maki-san?"

"Hah? Bukan. Kami mana mau nonton dia begitu. Kepalanya bisa tambah besar." Pemuda di depanku terdengar sedang menggerutu di antara kunyahan pasta.

"Tapi keren sekali akting Maki-san tadi. Suaranya juga, merdu sekali. Aku penasaran seperti apa Maki-san ketika menyanyi."

"Pertunjukan selanjutnya mereka akan melakukan drama musikal. Kau mau datang menonton?"

"Dengan Kaminaga-san?" Tanyaku, separuh berharap. Dari semua orang yang menemaniku menonton film di bioskop, pertunjukan opera, pameran, galeri, Kaminaga adalah satu dari beberapa yang diam menyimak. Tidak banyak berkomentar selama jalan pertunjukan dan itu membuatku nyaman.

Bibir menggurat garis datar. "Ya. Kau bisa pergi denganku."

Perasaan hangat merembes, bibirku tersenyum tanpa bisa ditahan. "Oh iya, soal yang dikatakan Charlotte, apa mungkin maksudnya sadar tadi itu bukan tentang perasaannya pada Peter, tetapi merujuk pada pengorbanan Annie?"

Aku menanyakan keambiguan dialog Charlotte dan Peter yang diperankan Nogami Yuriko dan Maki, ketegangan terasa ketika perdebatan keduanya meningkat dan pembicaraan terasa tidak nyambung. Peter menyalahkan Charlotte atas kematian Annie, wanita yang dicintainya sementara Charlotte terus memaksa Peter untuk sadar.

"Ah, pasti sebagian besar beranggapan begitu. Faktanya, Charlotte digambarkan sebagai wanita egois. Sadar itu ditujukan pada Peter agar dia tahu betapa besar perasaan Charlotte untuk Peter."

"Lho, tetapi Annie adiknya. Seegois apapun seharusnya dia mengedepankan nasib adiknya yang harus mengorbankan nyawa demi menyelamatkan Peter dan Ibunya," sanggahku.

"Jadi, menurutmu tokoh antagonisnya adalah Charlotte?" Tanya itu terdengar serupa tuduhan. Aku menggeleng cepat. Tawa hangat melumer. "Wajahmu panik sekali."

"Aish, habis wajahmu galak sekali," balasku sambil mengangkat cangkir. Kaminaga terkekeh, ikut menyembunyikan garis bibir di tepian cangkir. Aku mengernyit, coklatnya kurang manis.

"Menurutku Charlotte bukan tokoh antagonisnya," ujarku. Mangkuk gula didekatkan, aku memasukkan sesendok gula, mengaduk selaras putaran jarum jam.

"Oh?" Giliran Kaminaga memasukkan sesendok gula. Mata kelabu lekat menatap ... ku?

"Aku ... belum pernah menyukai laki-laki sedalam Charlotte, mudah bagi orang lain mengatakan dia egois jika aku tidak benar-benar tahu apa yang dirasakannya. Kurasa perasaannya tak sedangkal itu."

Jarum panjang, jarum pendek, atau jarum detik yang berdegup sesuai sistem berhenti dalam hitunganku. Hangat di seluruh penjuru ruangan berpindah ke tangan lain yang menangkup punggung tanganku. Ini nyata. Kaminaga mengeratkan genggamannya. Lagak tenangnya berbanding terbalik dengan kondisi jantungku. Sebisa mungkin aku menarik lepas tanganku.

"K-Kaminaga-san."

"Hmm?" Jari-jemari terpilin di atas tutup mangkuk gula putih.

"Kau mau mengambil gulanya duluan?"

Seolah ada gelembung pecah, kekeh terburai. Kaminaga melepasーakhirnyaーtangkupan tangannya, menyesap lagi seakan tidak terjadi apapun, seakan mengacaukan fokusku tidak berarti banyak. Pada akhirnya ia tidak jadi menambah gula, menandaskan porsi pastanya.

"Bisa kaubayangkan tidak, aku ada di posisi Charlotte dan kau ada di posisi Peter?"

Degup jarum berhenti.

Sepasang kelabu berpendar menyelidik jawaban, separuh tak sungguh-sungguh ingin tahu, separuh lagi memendam harap. Ada secuil anomali dalam tatapnya, yang paling janggal terlihat. Aku tidak sebodoh, setidak peka itu. Ciuman di bawah gumul awan kelabu sendu menatap itu punya banyak artiーjuga, yang Kaminaga katakan waktu itu. Ada banyak tanya dalam benakku, berdesakkan, berebut keluar terjelma kata.

Foto, pesan masuk, gerbong kereta, ucapan selamat malam, lagu, tipe gadis, hanakotoba, sehelai daun di kepala, ciuman menyesakkan itu, dia tiba-tiba menghilang, jas biru asing, kantong belanja, operaーsemua itu apalagi kalau bukan rangkuman perasaan Kaminaga.

Dengkus lirih. "Oke, rasanya kurang tepat kalau kau ada di posisi Peter."

"ーwaktu itu kau bilang menginginkan tetapi tak bisa memiliki. Apa ... itu ada hubungannya dengan profesimu?" Tanyaku hati-hati.

Kaminaga bungkam, hingga ia memanggil pelayan, meminta bill, mencarikan taksi untuk kami naiki berdua.

Diamnya bukan untuk lari dari tanyaku. Diamnya karena kemelut jawaban hatinya dan logikanya.

Hm, kalau kamu pengen doi, aku pengen nampol kamu.

Satu lagi chapter panjang sepanjang jalan kenangan. Masih ada satu chapter di-publish hari ini, jadi jangan ke mana-mana!!!

Makasih buat yang memberi votes sama komentar huhu, semoga seri ini nggak mengecewakan kalian ya :')))

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang