Mazarin

175 36 11
                                    

Ribuan titik-titik bintang terhampar di malam gemerlap, dikalahkan jutaan benderang artifisial di kota. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin mampir taman malam ini, duduk menyendiri di bawah lampu taman sebulat buah melon, menghitung berapa banyak daun momiji gugur dekat kaki.

Taman ini sepi sekali. Derum mesin kendaraan berlalu-lalang bisa dihitung jari. Gerobak jajanan di ujung taman bersiap-siap menyambut pelanggan, menyalakan lampu dekat gerobak, aroma kuah berkaldu hangat menyeruak. Pria paruh baya jangkung riang menyambut dua pegawai kantoran. Pedestrian hanya berminat lewat mengabaikan panorama berupa guguran daun. Di sini semakin dingin, angin berembus tanpa henti. Aku mendengar petugas sapu taman merutuki gunungan daun merah yang habis disapunya terbang teracak ke mana-mana. Tidak ada kerumunan merpati, tidak ada remah roti atau biji-bijian terhampar dekat bangku kayu.

Di jam ini kubayangkan lampu ruang tengah menyala. Ryoko membawakan minuman hangat dari pantry, Akane menumpahkan snack dan makanan manis ke meja panjang, Sakura kadang membawakan seboks donat dua lusin, tiga mahasiswi girang berebut makanan. Hiroyuki mungkin datang setelah bujukan (paksaan), dan mereka heboh minta difotokan Kaminaga kalau pemuda itu pulang bawa kamera.

Minta difoto bagaimanaーorang itu belum kembali sampai hari ini. Siapa yang pegang kamera?

"ーhm. Iya. Aku habis dari sana."

Bau rokok dibakar menyengat hingga tempatku. Angin menerbangkan kepulan asap tipis secepat ia menghilang. Aku terdiam, bersandar di punggung bangku taman meresapi bau yang seharusnya tidak kuhisap ampasnya kalau aku tidak mau jadi perokok pasif.

"Ck, berisik! Aku tahu. Iya, iya," dengkus geli. "Kau seperti Ibuku saja."

Harusnya aku terkejut. Suara khas musim panas di pertengahan musim gugur ini seperti fatamorgana di bawah terik menyiksa matahari.

"Hmm. Selamat mati kebosanan jaga yaーsial. Jangan macam-macam ya, eleven!"

Tawa menggelegar menepis hening. Tawaーyang absen barangkali karena masalah pekerjaan atau dia sengaja pergiーterhela. Kembali kudengar. Kembali kurasakan.

"Jangan, ah. Oh, omong-omong bagaimana kepalamu? Kudengar Jitsuiー" hela napasnya terhambur bersama asap putih. "Begitu. Hm? Dia?"

Sedepa jeda.

"... Tidak. Baguslah."

Kami bertatapan. Sama-sama terdiam.

Kaminaga mengerjap-kerjap. Seruan dari speaker ponsel menggertaknya. Ia tersentak. "Ah, halo? Hatano, kita bicara lagi nanti." Sambungan dimatikan sepihak, ponsel disakukan.

"Hai," sapaku kaku.

Puntung rokok diinjak, dibuang ke tempat sampah terdekat. Kaminaga berdeham, duduk di sisi lain bangku.

"Baru pulang kerja?"

"Iya. Kau?"

"Hmm. Tapi tiba-tiba pengin mampir taman dulu."

"Mana jaketmu?"

"Tidak bawa." Aku melirik ujung bangku. Trenchcoat hijau zaitun tampak cocok buat Kaminaga ketimbang jas biru di lipatan lengan kanannya. "kerjaanmu banyak sekali ya? Aku sampai jarang melihatmu di apartemen."

Matanya membulat. "Kau ... mencariku?" Tanyanya lugu. Entah karena apa Kaminaga tersentak, membuang pandang. "Begitulah. Aku menggantikan temanku."

Bunyi getar memecah canggung. Kaminaga mengeluarkan ponsel, biner kelabu bergulir mengamati layar. "Aku harus pergi."

"Lagi?"

"Mereka butuh bantuan sedikit."

"Oh ...." Mata tak sadar mengikuti geraknya bangkit, memburai lipatan jas biru. "Eh, lhoーkenapa jasnya ...?"

Badannya maju, lengan terjulur menyampirkan jas biru dongker di pundak, menutupi tubuhku. Aroma di jas terasa asing, berbau rokok bercampur wangi sitrun.

"Kapan pulang?"

"Secepatnya."

Telapak tangannya hangat mengusap pucuk kepalaku. Apakah aku boleh berbesar rasa terhadap sentuhan sarat sayang darinya atau hanya bisa berharap. Kepalaku diusak pelan, membuatku merasa nyaman hanya dengan usapan ringannya. "Segera pulang. Di sini semakin dingin."

"Iya." Aku menunduk. Hangat ini entah berasal dari jas biru Kaminaga, usapan di kepalaku, atau bentuk afeksinya memintaku pulang. Kepala mendangak, bertemu sepasang biner kelabu menatap teduh, senyumnya menenangkan. Tidak ada trenchcoat, jaket, sweatshirt, apapun untuk menutupi badan di balik kemeja putih Kaminaga. Seakan tidak merasa dingin sama sekali dia melangkah keluar taman.

Aku mengernyit. Itu bukan arah ke studio foto.

Hayo mau ke mana lagi si doi?

Hadeh, seneng banget nyusahin orang dasar bang toyib keluyuran mulu.

Sekali lagi, makasih para pembaca yang menyempatkan ngasi vote dan ngekomen rame, huhu jadi berasa karyanya dibaca beneran kalau ada yang ninggalin jejak. Semoga semua tulisanku nggak mengecewakan kalian ya :") sampai ketemu di chapter depan!!

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang