Zenit

272 42 21
                                    

Ketuk-ketuk bagian tajam pisau mengenai datar permukaan talenan di antara harum kaldu, aroma manis wortel, uap tipis mengepul dari penanak nasi, wangi cokelat panas, dan berbagai macam bumbu dapur lain sudah menemaniku selama bertahun-tahun terakhir di dapur rumah. Di luar sana salju berhenti merintik, dipastikan jalan sepenuhnya tertimbun. Pekik anak-anak bersahutan diiriingi bunyi bak-buk gumpalan salju menabrak sekujur badan.

Pintu menjeblak terbuka bersama tawa pecah, terpingkal separuh panik di genkan, lantas berlari terbirit masuk setelah pintu terbanting menutup. Mulanya aku terkejut, pintu kembali terbuka bersama tawa jahat komikal memanggil-manggil. Kikik tipis di balik sofa marun menaikkan senyumku, ingat hal ini sering sekali terjadi. Seolah tak ada apapun aku memeriksa nasi, mematikan kompor. Punggung berbalut hanya selapis mantel terbungkuk karena pemiliknya berjingkat mendekati sosok lain dari belakangnya. Aku tersenyum geli, meletakkan panci sup, melepas celemek masak, dan mengurai ikatan rambut.




“Kena!”

“Aaah, ampuuun!”


Jerit histeris tawa di antara bunyi gabruk dan pekik pedih justru membuatku terhibur. Derap langkah berisik di lantai kayu, diikuti munculnya pucuk kepala cokelat melesat lari seolah dikejar singa.



“Aaah!”

“Asik, kena lagi. Enaknya diapakan ya anak ini?”



Dua tawa meledak di balik sofa, dak-duk ini berasal dari kaki-kaki kecil menjejak, menyentak mencoba lepas sepenuhnya. Sosok yang lebih dewasa berseringai, jari-jemari liar berlarian menggelitik perut mengurai lengking tawa dan pekik minta ampun, sesekali menanam cium di pucuk kepala senada miliknya yang mengharum bedak bayi dan cologne anak.

“—Ehem.”

Aktivitas keduanya berhenti, serempak menoleh dengan cengir inosen. Yang lebih dewasa bangkit, lengan-lengan memeluk badan versi mini dirinya yang penuh serpih putih salju. Ia bangkit, sempat-sempatnya menciumkan senyum ke pipiku baru berlalu masuk kamar.

“Astaga, kau dan Ayahmu habis mandi salju?” Kuhela napas (pura-pura) lelah, membantu tangan mungil membuka kancing duffle coat hitam dan syal cokelat bergaris.

“Tadi seru! Aku dan Ayah bikin Olaf besar, tapi Olafnya ambruk!” Tawa jernih yang menghangatkan ini persis ayahnya. Segalanya mirip—dari ujung rambut sampai ujung-ujung kuku kaki dan tangan—selain warna mata.

“Ryouhei mau dibantu ganti baju?”

“Aku mau ganti sendiri!” balasan terucap dengan aksen kekanakkan. Ryouhei berlari memasuki kamar kami, berkelit sembari menjulurkan lidah main-main saat ayahnya mendesis gagal menangkap. Aku menetralkan ekspresi, melipat tangan menghampiri dia yang sudah duduk di kursi makan, menyendokkan nasi ke mangkuknya.

“Ryouhei kau ajak mandi salju?” Tanganku terangkat menyisiri helaian berantakan yang menyembunyikan putih salju. Ia menangkap tanganku, membubuhkan kecup singkat di punggung tangan dan jari-jari.

“Anak laki-laki itu harus tahan banting.”

“Ryouhei itu bukan kau,” kataku, selesai merapikan cuatan rambut yang sedikit lebih pendek dari bertahun-tahun silam. Kubiarkan ia meraih tanganku, memposisikan menangkup kedua pipi dingin.

“Tapi dia anakku,” tandas Kaminaga. “Ralat—anak kita.”

Aku mencubit sekilas pipinya sebelum melepas tangkupan tangan. Kaminaga mengaduh teatrikal, balas mencubit ujung hidungku. Langkah ringan menapaki lantai kayu. Ryouhei memanjat kursi makan, mengucap thank you yang sangat fasih disuarakan sambil menerima semangkuk sup dan nasi. Cara makannya berantakan, butir-butir nasi menempel di pipi gembil. Ryouhei membiarkan ayahnya melipatkan lengan kaus sebatas siku agar tidak basah kena kuah, malah berceloteh panjang sementara Kaminaga mendengarkan. Cerita cokelat lezat asli Belgia kiriman Ryoko, kapan dia masuk Taman Kanak-kanak, menyayangkan Kaminaga jarang pulang lama karena padatnya aktivitas di Keishichou.

Upstairs | Kaminaga [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang