SCENE FOUR
PECULIARITY
"kautahu, tidak? aku tertarik berteman denganmu.""tidak, tidak. terlalu agresif."
"hei. mau berteman denganku, tidak?"
"kau jadi mirip pria mabuk di pinggir jalan."
"hai! you're so freaking incredible—lets be friends!!!"
"jeongin. orang yang ingin kauajak kenalan bukan turis."
jeongin berhenti mematut diri di depan cermin dan beralih merengut ke arah seungmin, "jadi aku harus bagaimana?"
pemuda dengan rambut kemerahan itu memperhatikan sahabatnya dari posisi tengkurap di ranjang. terdiam beberapa lama, kemudian menyibak poni ke belakang, berlagak sok keren. "kau kan laki-laki. ajak dia pergi makan malam, dong."
"seungmin. aku ingin berteman dengannya, bukan memacarinya." jeongin mengesah frustasi. seharusnya dia minta saran haseul saja.
saat ini jeongin sedang berada di sebuah situasi di mana dia sangat ingin berkenalan dengan hwang hyunjin—pemuda tampan dengan bekal makan setara restoran bintang lima. alasannya adalah karena pemuda itu menarik. dan lucu. jeongin tidak bisa munafik jika nama senior itu terus menggaung di kepala semenjak mereka bertemu di green house.
aku harus berteman dengannya. kalau tidak, aku bakal gila. jeongin bersiasat pada dirinya sendiri. lalu dia menelepon seungmin, menyuruh pemuda itu bertandang ke rumah untuk dimintai pendapat.
seungmin kemudian menguap bosan. "tinggal ajak berkenalan saja apa sulitnya, sih? tidak perlu latihan seperti ini."
"tidak pernah dengar kalimat 'practice makes perfect', ya?"
"kau naksir dia atau apa? orang yang berlatih mati-matian untuk kenalan dengan kakak kelas cuma kau."
jeongin semakin menekuk muka.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
nyatanya, berjam-jam latihan dengan seungmin berakhir lancut.
karena esok harinya jeongin hanya bisa tersenyum kaku di depan hwang hyunjin. mulut bisu, tak tahu harus bicara apa. sementara dia dalam hati mengutuk sang sahabat karena telah lancang mendorong punggungnya ke arah hyunjin sewaktu berpapasan di koridor. sekarang jeongin tenggelam dalam suasana canggung yang menyengsarakan.
"kenapa? mau minta bekalku lagi?" hyunjin bertanya.
jeongin mundur selangkah. dia tahu seungmin sedang menguping di balik pot bunga, menanti bagaimana hasil latihan tempo hari. senyum jeongin masih kikuk. semuanya karena dengkung di hati yang menggila seiring detik demi detik terlewat.
"begini," jeongin mencoba santai disertai dehaman layaknya seorang pria jantan, "namaku yang jeongin dan aku butuh ngobrol denganmu. sepulang sekolah ini ada jadwal, tidak?"
telinganya menangkap suara pekik yang ditahan-tahan dari belakang pot bunga. seungmin pasti tidak menyangka sahabatnya bisa sebegitu dewasa dengan mengimprovisasi kalimat sendiri.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
sore itu adalah sore yang cukup bersejarah dalam hidup jeongin. pertama, pulang ke rumah tidak dengan seungmin. kedua, beli es krim di pinggir jalan sambil jalan-jalan santai. dan yang ketiga, langkahnya ditemani hyunjin.
jarak sekolah yang cukup jauh dari stasiun dimanfaatkan jeongin untuk bercakap-cakap dengan si kakak kelas. mulai dari yang umum seperti cuaca, makanan kesukaan, rutinitas. hyunjin ternyata lebih ceriwis dari yang jeongin kira. dia senang bicara—terutama mengenai tetumbuhan dan voli.
"minggu depan kami bakal ada latih tanding dengan sekolah terkenal di perfektur sebelah—pertama kalinya dengan mereka! kautahu, sekolah favorit seperti itu selalu sibuk. tentu kami merasa terhormat telah diundang. aku dengar kaptennya setter dan punya tinggi hampir dua meter. mirip pintu berjalan."
jeongin tersenyum dan berkedip, berupaya terlihat amat serius menyimak, padahal tak ada yang bisa ia pahami. hyunjin bicara sangat cepat dengan antusiasme terpancar dari binar mata. segala hal asing yang menjegal di otaknya terganti oleh hyunjin, hyunjin, hanya hyunjin. senior itu memenuhi semua ruang kepala.
"eh? telapak tanganmu hitam?"
senyum jeongin langsung luntur. dia mengepalkan tangan. "y-ya. noda sial ini, haha."
"oh. belum bertemu soulmate?" tanya hyunjin, terdengar hangat.
jeongin jelas-jelas ingin menghentikan subjek pembicaraan sebelum mengalir lebih deras. tangan kanannya mengibas di depan muka, indikasi enggan bicara. dia terlalu sensitif ketika menyoal belahan jiwa. entah harus berapa kali tangan kirinya harus terkepal supaya bisa melupakan antipati pada noda hitam di sana.
"sebenarnya aku tidak terlalu percaya belahan jiwa."
jeongin dikejutkan oleh hyunjin yang mengutarakan gagasan langka dan berani.
"terkesan menantang takdir, ya?" wajah hyunjin disapu lembut oleh semilir angin yang juga mengusak rambutnya. pemuda itu mengulas ekspresi getir, "kalau saja eksistensi belahan jiwa itu disertai tanda, mungkin pandanganku berubah. mungkin."
jeongin mengernyit sembari menunjukkan telapak tangan kirinya di depan hyunjin, "ini tandanya. kau tidak tahu?"
apa yang jeongin lihat selanjutnya adalah sebuah cengiran bahagia penuh pura-pura.
"aku tidak punya noda hitam seperti itu di tubuhku."
────✵
selamat malam ;)