.025

1.9K 448 61
                                    

SCENE TWENTY FIVE
A FAITH IN YOU

"masalahmu apa, sih?"

wajah haseul layaknya diperciki air perasan mawar berma—merah, marah, mungkin sebentar lagi akan meledak. dia baru saja menerima panggilan dari nomor asing. melalui speaker terdengar suara hyunjin yang jeongin hafal benar. tetapi pemuda itu langsung mengurung diri di kamar lalu menggulung tubuh dalam selimut tebal sebelum sang kakak bisa memanggilnya.

"aku kaget saat dengar kalau kau ternyata tidak bilang pada siapa pun soal kepindahan ini. tadi soulmate-mu si hyunjin itu menelepon, tahu? tolong pikirkan perasaannya, jeongin. kalian mungkin tidak akan berjumpa lama sekali." haseul kembali menekan-nekan layar ponselnya dengan kedua jempol. "semalam seungmin menanyakan kabarmu di akun instagram-ku. segera hubungi dia dan hyunjin."

omongan jeongin hampir samar-samar karena bibirnya ditumpuk selimut. "nanti saja."

"nanti?"

jeongin semakin mengeratkan cengkeraman pada fabrik tebal yang membungkus dirinya sampai bawah hidung. vokal haseul tinggi, buat telinga berdengung bising dan jantung bertalu-talu. timbul kekhawatiran konyol jikalau suara itu menembus dinding-dinding kemudian mengejutkan para tetangga. berusaha abaikan muka kakaknya, jeongin berlagak mengendusi selimut yang entah mengapa punya aroma jagung matang di ladang.

"ibu mau mengajak kita pergi nanti malam. segera aktifkan ponselmu; aku tidak mau tahu," ucap haseul, menyudahi omelan dengan decak kecil dalam mulut lalu membanting pintu. jeongin sempat menangkap teguran dari ibu untuknya.

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

bukan tidak peduli, hanya saja jeongin belum siap. kala dirinya melepas sepatu kets kemudian berluntang-lantung di sekitar tempat tidur karena melihat ratusan panggilan tak terjawab di ponsel, separuh hati terenyuh tak tega, sisanya murni perasaan bersalah. ibu dan haseul membuat popcorn untuk camilan tengah malam. wanginya semerbak sampai indera penciuman, sejenak jadikan jeongin lupa akan segala risau dan tekanan jarinya pada nomor hyunjin berubah hati-hati.

ini bukanlah kali pertamanya menelepon si kapten voli. tetapi jeongin tidak temukan perbedaan yang signifikan; tetap saja debaran di jantungnya ialah gelumat, mual berputar-putar di sekitar perut, sehingga dia tidak lagi bisa tenang menunggu panggilannya diangkat. di luar sana bulan bulat sempurna. bunyi 'tut' panjang yang terus-menerus masih menggantung kepastian. apa hyunjin sudah tidur?

"halo? jeongin?"

kedua belah bibir jeongin mengatup begitu rapat saat suara hyunjin merapal namanya dengan gamblang, tereja sangat mudah seakan sudah akrab dalam rongga mulut. banyak pengharapan yang membuncah. jeongin pikir dirinya cukup naif bila berpikir hyunjin masih sudi bicara padanya, sebab yang dia lakukan hanya mencampakkan hyunjin di saat telinga pemuda itu ada untuk dengarkan keluhnya.

"maaf, hyunjin," bisik jeongin dengan mata menutup. "maaf untuk tidak mengatakan apa-apa."

napas hyunjin terhela di seberang sana. "kau di mana sekarang?"

"a-aku pindah ke busan." jeongin tidak mengerti mengapa tenggorokannya bagai tercekik tangan-tangan tak kasat mata, membikin sulit untuk berkata. "dua minggu lalu, kurasa. di sini, haseul dan aku membereskan beberapa masalah. kami baik-baik saja. aku ... aku harus banyak minta maaf padamu. juga pada kawanku."

"minta maaf untuk apa?" suara hyunjin dingin.

jeongin raup oksigen banyak-banyak sebelum mengutarakan. "untuk pergi mendadak, tidak bilang apapun, tidak mengangkat telepon berhari-hari, sehingga buat resah. aku juga minta maaf sudah ribut denganmu di stasiun waktu itu. aku sedang kalut, kupikir semuanya harus ditanggung sendiri, karena itu adalah masalahku sehingga tidak ada yang boleh tahu—tapi bukan, aku sadar bukan begitu. seharusnya aku percaya padamu."

haseul telah mencontohkan bagaimana cara mengungkap isi hati. kali ini jeongin mencoba untuk meniru meskipun kegugupannya masih dengan mudah terendus, tak peduli seberapa kuat ia menyengapkan. hening terbentang seperti hamparan osean—di mana ujungnya? mengais-ngais bahan obrolan rasanya mustahil. jeongin kembali mendapati keganjilan yang menggelisahkan sekujur tubuh.

"jeongin. aku dan seungmin kesulitan sekali, lho, menghubungimu. mungkin, kalau kau tidak meneleponku malam ini, aku sudah pasrah." hyunjin mencipta jeda. "rasanya seperti mendapat pengkhianatan. apa aku boleh marah?"

entah mengapa jeongin terkekeh kecil. "kau sangat berhak marah."

"aku tidak bisa marah di telepon. tapi mungkin seungmin bisa. dia yang memberikanku nomor haseul dan membantu banyak sekali." hyunjin mendengus geli, buat jeongin turut tergelitik. "jeongin. apa ada yang pernah bilang padamu kalau semua bentuk komunikasi terjadi karena rasa percaya?"

jeongin serasa mendapati titik temu. "belum."

"aku juga belum pernah. tapi barusan aku membaca novel milik yeojin dan menemukan kalimat itu di sana," tutur hyunjin dengan intonasi menenangkan. "menurutku itu benar, sih. contohnya saja, tidak akan ada proses jual-beli jika pedagang tidak percaya pada konsumennya. aku tidak akan bertanding kalau tidak memercayai rekan-rekan setim. mungkin di sinilah letak kesalahan kita, jeongin. komunikasi yang terjadi begitu semrawut karena kita tidak saling percaya. kau meragukan aku, aku pun ragu padamu."

"ragu? kau meragukan apa?" jeongin tanpa sadar menggigiti bibir.

"perasaanmu." kemudian hyunjin tertawa kering seraya meringis tertahan. "konyol memang. tapi kau tidak pernah bilang apa-apa, sih."

"maaf. tapi aku suka padamu sungguhan, kok."

senyap lagi. sekonyong-konyong jeongin melempar tubuh di kasur. wajah dipenuhi semburat merah hingga telinga. ini kedua kalinya ia menelepon hyunjin, dan lagi-lagi mulutnya melincirkan sebuah kalimat memalukan. semua terlontar tanpa dipikir terlebih dahulu. kemudian hyunjin meruntun batuk sebelum mengalun tawa. sulit bagi jeongin untuk jumpai sebuah alasan ia merasa senang mendengarnya.

"i-itu mendadak sekali, oke? lain kali beri aku peringatan." mulut hyunjin masih merilis sisa-sisa gelak. "ta-tapi, aku juga. hehe."

yang lebih muda berdeham canggung dengan pipi masih berhias rona. "jadi ... kita harus saling percaya, ya?"

"tepat."

"tapi rasanya sulit." tangan jeongin kemudian memindahkan ponselnya ke telinga kiri. "tidakkah kau berpikir begitu? bagaimana kalau kau tidak bisa bertemu denganku lagi, misalnya? bagaimana jika aku menemukan orang lain dan—"

hyunjin buru-buru menyambar. "kalau kau percaya, kita pasti bakal bertemu lagi."

"jadi intinya aku harus belajar memupuk kepercayaan."

"benar."

"oke. kucoba."

"oke."

"oke."

"... oke."

jeongin terbahak keras. "kita tidak sedang menirukan sebuah adegan film, kan?"

hyunjin balas tertawa. renyah, disisipi engah-engah, sehingga jeongin bisa membayangkan bagaimana romannya ketika sepasang mata menyipit dan mulut yang terbuka lebar memperlihatkan sederet gigi nan cemerlang. barangkali pemuda itu akan tersedak sebentar lagi. tapi tawanya belum berhenti. lama benar jeongin dibuat senyum-senyum, mengkhayalkan apa yang ingin dia lihat.

kemudian sang kapten voli menanyakan tanggal lahirnya. makanan kesukaannya. pelajaran paling dibenci dan musim favorit. semuanya tentang hal personal jeongin. kikik-kikik pelan menyusul setelahnya karena mereka takut mengganggu yang sedang terlelap; dan masing-masing bahu dirangkul oleh suasana lembut yang mengesat semua potongan pertengkaran silam. kebahagiaan itu terasa panjang. jeongin kira, hyunjin bisa dijangkau begitu mudah hanya dengan merentang tangan. hyunjin terasa dekat.

"um ... jeongin? kita sudah berbaikan, kan?"

yang ditanya menggelengkan kepala, lantas kembali tertawa geli. "tidak tahu."

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang