SCENE TWENTY FOUR
THE RETURNEESdua hari sebelum sebuah panggilan dari nomor asing masuk ke ponsel kakaknya, jeongin hanya bisa melenguh bosan di dalam kamar sembari memaku pandang pada langit-langit. televisi tidak punya. radio pun ditinggal di rumah lama. satu-satunya sumber hiburan adalah dengan pergi keluar dan berkenalan dengan para tetangga, menanyakan kesibukan mereka, beramah-tamah. tapi ini musim panas. jeongin kurang suka ketika kulitnya terpapar matahari kemudian dibasahi peluh.
mungkin dia akan diam saja di kasur sampai haseul pulang dari sebuah persuratan populer di pusat kota. kakaknya baru saja melamar kerja untuk berjaga sekaligus mengurus pemeliharaan buku-buku; dan hari ini adalah wawancara. jeongin pesimis akan hasilnya. tetapi haseul pasang muka abai dengan latar pendidikan yang sama sekali tidak mengacu pada ilmu kepustakaan, sebab dia bekerja untuk memperkaya pengalaman—dan tentu saja untuk mempertebal dompet.
tepat pukul lima sore, haseul kembali dengan satu kantung kertas berisikan roti-roti yang dijejal paksa serta sebuah senyum lebar. jeongin kira kakaknya berhasil melalui wawancara tanpa hambatan ini dan itu. tetapi, sesaat setelah gadis itu berjalan melalui bahunya kemudian mengunyah roti dengan napas amburadul, jeongin merasakan hatinya diremas kuat.
"barusan ibu menelepon dan menanyakan alamat flat ini," kata haseul lirih.
itu adalah berita yang membuat malam jeongin terasa seperti siang hari. besoknya, dia tergopoh bangun dari kasur dengan sepasang mata masih dikuasai kantuk lalu mandi sebelum menyambut kedatangan orang tuanya yang entah kapan. haseul bolak-balik dari ruang tengah menuju dapur. jeongin sempat lihat matanya yang merah, entah karena kurang tidur atau terlalu banyak menangis.
ayah dan ibu mengetuk pintu saat jam makan siang. haseul mempersilakan mereka duduk menghadap sebuah meja kayu berkaki pendek yang di atasnya tersedia beberapa hidangan dalam mangkuk-mangkuk, semua ditata serapi mungkin. ibu tampak terkesima ketika haseul dengan piawai memperkenalkan makanan yang ada di sana dan bagaimana cara memasaknya.
"jadi, apa alasan kalian pindah kemari?"
suara ayah yang besar dan dalam seketika membuat jeongin refleks beringsut mendekat pada pundak sang kakak. pertanyaan itu mengambang di udara untuk beberapa saat, menyisakan haseul yang berhenti menyumpit mi di wadahnya lalu menatap ayah dengan seulas senyum tipis. jeongin kagum. jikalau dirinya adalah haseul, dia tak akan bisa menutupi kegugupan seapik itu.
"karena aku tidak mau dipaksa kuliah. aku yakin adikku juga tidak senang kalau harus punya gelar sarjana hukum di belakang namanya nanti."
jeongin tidak berhenti menatap kakaknya dengan sorot terheran-heran. di bawah meja, dia mencoba meraih tangan haseul, kemudian menggenggamnya erat meskipun tangan itu sangat lengket terbalur keringat kecemasan.
ayah melipat bibir menjadi sebuah garis tipis, lalu menghela napas. "kalau itu alasannya, kalian bisa bilang pada kami. tidak perlu pergi sejauh ini—ini berlebihan, kautahu itu, haseul? apalagi kalian sendiri. tidak punya siapa-siapa di tempat ini. mengapa kau nekat sekali membawa adikmu? apa kau tidak mengerti konsekuensi dari keputusan yang kauambil?"
"aku membawa jeongin ke sini karena aku paham apa risikonya, ayah. aku tahu aku harus bekerja lebih keras, mengurus semua sendiri, bahkan untuk urusan sekolah adikku. tapi ini lebih baik daripada tinggal di rumah lama." haseul kemudian mereguk ludah karena suaranya sudah sengau. "rumah itu terlalu luas kalau hanya ditinggali dua orang."
kalimat terakhir adalah sebuah teguran implisit yang membuat ayah memasak tatapan lebih fokus lagi pada haseul. sedang ibu, romannya seketika mendung dan ia hanya bisa menaruh sumpitnya pada tisu yang sudah terlipat rapi. jeongin sadar kakaknya akan menangis sebentar lagi. dia mengelus pelan punggung tangan itu dengan jempol, menguatkan lewat genggaman, dan melalui sentuhan halus, dia coba yakinkan haseul bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. semuanya baik-baik saja, kak.
"maaf, seharusnya aku bilang dari bertahun-tahun lalu," kata haseul dengan kepala merunduk. "aku hanya iri dengan beberapa orang yang dilimpahi kasih sayang orang tuanya. mengapa aku tidak seperti mereka padahal ayah dan ibu pun juga kumiliki? oh iya, orang tuaku sibuk mencari uang, tapi aku pun mencari uang; ini tidak ada bedanya dengan hidup bertumpu kaki sendiri."
jeongin melihat tetes-tetes air jatuh di rok kakaknya.
"dan alasan lain aku nekat pindah bersama jeongin adalah aku ingin bicara begini." lalu haseul mengusap wajahnya kasar, buat jeongin semakin mengeratkan genggaman tangan. "kalian tidak pernah benar-benar tinggal di rumah. aku sulit mengungkapkan perasaanku. tetapi ketika kalian bersedia meluangkan waktu ke sini, untuk mendengarkan alasanku bertindak sebegitu gegabah, aku tidak bisa berpura-pura tidak senang. astaga, a-aku, hiks, oh iya, apakah kalian tahu jeongin sudah menemukan belahan jiwanya? d-dia ... "
ibu segera mendekat pada haseul kemudian memeluknya erat. jeongin memperhatikan mereka tersedu bersama, kemudian beradu pandang dengan ayah. pria itu berdeham kemudian mengulas senyum kaku. jeongin ingin tertawa atas usahanya agar terlihat ramah. ayah membuka mulut, menuturkan kalimatnya tanpa libatkan suara.
"ma-af-kan ka-mi."
pria itu tidak mau mengganggu suasana haru yang tercipta di antara haseul dan ibu. respons jeongin hanya anggukan samar serta balasan senyum yang, kalau tidak ingin dibilang berlebihan, cukup lebar untuk merepresentasikan perasaan familiar di hati. lalu ayah berkata ingin lihat tanda belahan jiwa putranya. jeongin segera terkikik ceria, telapak tangan hijaunya disodorkan dengan penuh semangat di atas meja.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
ayah dan ibu memutuskan untuk menghabiskan satu pekan penuh di kamar flat sewaan haseul. mereka mencari rekomendasi restoran terkenal di kota itu, kemudian mengatur waktu yang tepat supaya tidak bertubrukan dengan jadwal haseul cari lowongan kerja (bibliotek tersohor itu ternyata menolaknya lewat pesan dua jam lalu, sesuai dugaan). kehangatan yang jeongin saksikan di keluarga lain kini tercipta pula dalam keluarganya. sudah berapa lama badai salju menjadi pijakannya setiap pulang ke rumah? jeongin tidak sanggup mengingat-ingat.
"aku akan berhenti bekerja. lebih baik mengurus haseul dan jeongin di sini, kan? kembali ke seoul sudah tidak mungkin. haseul bersungguh-sungguh membuat kehidupan baru di tempat ini dengan mengikutsertakan jeongin, jadi kupikir, tidak ada salahnya tinggal bersama mereka. untuk menebus kelalaianku di tahun-tahun yang lalu. sebelum aku menyesal, dear."
suara ibunya yang terdengar samar di ruang tengah kemudian dibalas kata-kata ayah, tepat saat jeongin keluar kamar di malam hari karena ingin kencing. beberapa lampu sengaja dipadamkan. jeongin menggigit bibir. dadanya bergejolak, mungkin ada kembang-kembang pancarona tumbuh subur di paru-paru, sehingga yang ingin dia lakukan sekarang adalah memeluk kedua orang tuanya dalam rengkuhan hangat. dia belum pernah melakukan itu. belum ada keberanian. mungkin nanti, saat perasaan segan berangsur-angsur hilang, dan dia dengan langgas akan meluapkan seluruh kasih sayangnya tanpa gengsi.
nanti, nanti.
✧・゚: *✧・゚
ini lebay tapi aku nangis pas
nulis bagian haseul lololol