SCENE TWENTY TWO
DO I KNOW YOU?setelah dua malam mengadar di sebuah penginapan dengan harga sewa paling murah, jeongin bisa menganjur napas lega karena akhirnya sang kakak bisa mendapatkan tempat yang bisa ditinggali secara permanen. haseul menyewa satu kamar di flat sederhana tanpa tersedia fasilitas canggih. semuanya beroperasi secara manual: tangga untuk naik dan turun satu lantai, kunci beserta duplikatnya guna menjaga keamanan kamar, dan kamar mandi dengan satu pancuran di dalamnya. tidak mewah, tetapi haseul sangat kegirangan bahkan hanya untuk menata barang-barang.
tetangga-tetangga mereka punya karakter bermacam ragamnya. jeongin sempat disapa seorang wanita yang senang mengenakan rok hitam licin, kemudian seorang pemuda asal australia dengan buku-buku jari lebam pernah melempar senyum ketika berpapasan di tangga, dan ada pula pria tua berwajah ketus penyayang tetumbuhan yang selalu membuang muka sewaktu melihat jeongin. berada di lingkungan baru entah mengapa mengusir tilikan buruk tentang orang asing. jeongin berangsur-angsur membuka pikirannya; mungkin dia bisa mulai lembaran perdana di sini.
"kak, perlukah kita berganti identitas?"
jeongin terlalu menganggap serius soal kepindahannya dengan sang kakak. haseul yang baru tiba dari toserba sekonyong-konyong terbahak mendengar pertanyaan itu.
"kita pindah kemari bukan sepenuhnya untuk lari dari ayah dan ibu." tangan haseul menaruh kantung belanjaannya di dekat wastafel lalu mengeluarkan apel-apel untuk dibasuh. "ini untuk kebebasan. untuk menunjukkan bahwa kita bisa hidup tanpa uang dari mereka. untuk memperlihatkan seberapa kuat anak-anak payah ini."
"kalau suatu hari mereka datang ke sini, apa yang akan kita lakukan?"
haseul geming beberapa saat. tetapi tangannya terampil mengeringkan buah-buahan dengan lap bermotif.
"kalau mereka lebih mencintai pekerjaan, mereka akan memarahi kita lewat telepon," kata gadis itu pelan. "tetapi, kalau ayah dan ibu lebih sayang pada kita, mereka akan menyusul kemari. marah-marah. atau justru mencoba memahami."
haseul tidak pernah bisa menyukai orang tuanya, jeongin tahu itu. tapi yang terlihat saat ini berparak. meski implisit, jeongin mendapati sang kakak diam-diam mengharap ayah dan ibu datang ke tempat ini; menggedor pintu dengan amarah membubung di kepalan tangan, kemudian bertanya-tanya mengapa mereka bisa memiliki anak-anak yang nekat seperti haseul dan jeongin. karena yang kakaknya inginkan tidak hanya sekadar kebebasan. haseul juga mau perhatian.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
"apa ini?" hyunjin bertanya kebingungan ketika sahabat jeongin datang menghampiri, yang alih-alih menyapa, dia malah memasang wajah risi sembari melempar dua buah jeruk ke pangkuan hyunjin.
seungmin masih punya satu jeruk untuk dimakan. dia mengangkat bahu, tidak peduli pada berpasang-pasang mata yang menatapnya aneh. ini kafe. kebanyakan orang memesan sepotong kue yang ditata di piring mungil nan cantik lalu memesan es kopi, bukannya bercengkrama sembari mengupas kulit buah berona oranye.
"aku baru pulang dari jeju."
hyunjin mengangguk. seingatnya, suara seungmin tidak sedingin ini ketika ia mencoba menelepon dua hari lalu. hampir-hampir hyunjin mengira dirinya salah mengenali. lewat intonasi yang penuh keramahan di saluran telepon, hyunjin berekspetasi kalau seungmin adalah sebuah entitas yang menyenangkan, menguar kehangatan dalam setiap tingkahnya. apakah ini seungmin yang lain?
"jadi, hwang hyunjin, aku juga sudah mencoba menghubungi jeongin, lima puluh kali, dan tidak ada satupun yang diangkat." seungmin menaruh atensi pada ponsel, kemudian memperlihatkan layarnya. di sana, di kolom panggilan keluar, ada kontak bertuliskan 'crackhead yang jeongin' yang telah ditelepon lima puluh kali, sesuai dengan yang dikatakan seungmin. "dan di rumahnya tidak ada orang."
"kau ke rumahnya?! kan, kataku hari ini kita pergi bersama-sama!"
seungmin menyipitkan mata, kembali memasang roman yang mengindikasikan perasaan risi. "iya, hari ini kita sama-sama ke sana. kemarin aku hanya ingin memastikan saja."
setelah menghabiskan dua buah jeruk dan segelas jus stroberi, hyunjin membayar semua pesanannya di kasir kemudian berjalan keluar kafe dengan seungmin sebagai buntut. mereka menaiki kereta untuk sampai ke tempat jeongin. ketika kaki berjalan dari gerbang perumahan, hyunjin menyadari seungmin diam-diam meliriknya.
"jeongin jarang bercerita tentangmu," ungkap seungmin, suaranya kecil karena ragu.
hyunjin sendiri takut menjadi terlalu pemaksa. bertengkar dengan jeongin membuatnya lebih waspada dalam memilah kalimat, apalagi yang sedang diajak bicara adalah orang yang kerap bergaul dengan jeongin. ada kemungkinan tingkat sensitivitas mereka tidak berbeda jauh. dengan mata tetap fokus ke depan, hyunjin memilih untuk tidak merespons.
"dia terlalu tertutup, menurutku. belum pernah aku mendengarnya berkata mengenai belahan jiwa. yang membuatku kecewa adalah, aku mengetahui siapa soulmate-nya darimu." seungmin menghela napas, sedikit banyak mengundang tatap dari hyunjin. "kenapa harus kau? kenapa bukan dia saja yang bilang padaku—ah, maaf."
tangkup tangan seungmin menutup mulutnya sendiri. dia terlihat kaget karena menyadari bicaranya terlalu banyak, terlalu gamblang untuk diketahui orang asing seperti hyunjin. perlahan dia kembali menurunkan tangan lalu mengontrol mimik. hyunjin menengok, lantas menjumpai sekelumit semu jingga seperti kulit jeruk matang di pipi seungmin.
oh, tanda belahan jiwa, pikirnya. bagus juga.
"ini rumahnya." kata seungmin tiba-tiba.
seketika, bercempera semua yang menggelayut di benak hyunjin. pemuda itu menoleh ke sisi yang berlawanan dan mencalang pada sebuah bangunan sederhana yang dicat monokromatik. halamannya luas; cukup untuk memarkirkan sebuah mobil dan menempatkan berbagai pot tanaman secara apik. lampu teras menyala. semua tirai jendela tertutup rapat.
"aku tidak tahu dia pergi ke mana." seungmin terdengar seperti binatang yang terjebak perangkap, suaranya putus asa. "kondisi rumahnya sudah seperti ini sedari kemarin."
"punya nomor keluarganya?"
seungmin menggeleng. hyunjin berdecak frustasi. dengan tangan yang nyaris meremukkan ponsel, dia coba menelepon jeongin, lagi, meski kecil kemungkinannya akan dijawab. sesaat hyunjin merasa tolol sebab di hadapannya terbentang sebuah jalan khayali yang siap menjadikannya gamam, terputar-putar sampai hilang akal hanya untuk memangkas jarak pada jeongin. dia sungguh tidak mengenali belahan jiwanya. mereka memang sudah saling tahu nama, tetapi belum cukup familiar untuk saling mengutarakan ingar-bingar dalam hati.
kami hanya dua orang asing.