SCENE TWENTY ONE
LET'S GOini hampir menjelang malam. selagi menunggu keretanya datang, jeongin duduk di kursi, bersisian dengan wanita berambut pirang yang kepalanya merunduk menatap ponsel. orang-orang sibuk mengurus berbagai urgensi. mereka berseliweran seperti kelekatu di musim penghujan, melalui jeongin begitu saja tanpa menoleh, jalannya cepat-cepat.
merujuk pada jadwal keberangkatan, kereta jeongin bakal tiba setengah jam lagi. tangannya bertaut penuh kecemasan. hampir-hampir berkeringat basah; sebab ia merasa langkah ini adalah bensin untuk api pertengkaran dengan orang tuanya, pemicu lahirnya ketidakharmonisan yang lebih sengit lagi. mungkin ada baiknya jeongin membatalkan semua sebelum haseul kembali dari membeli camilan.
tapi, dunia memang tidak pernah berputar di sekelilingnya. sang kakak tiba-tiba saja sudah berjarak beberapa meter dari kursi jeongin, melangkah anggun, tangannya menenteng kantung plastik besar.
"nih." haseul melempar sekotak susu dingin ke pangkuan jeongin, membuat pemuda itu tersentak dan nyaris terjungkal. alis haseul menyatu melihat reaksi berlebihan itu. "kau kenapa?"
kepala jeongin menggeleng. dalam hati ia merutuk karena rangkaian rencananya hanya berakhir lancut. "kaudatang tiba-tiba sekali, sih."
haseul menancapkan sedotan plastik ke kemasan minuman kotaknya. menyeruput sedikit, lalu melirik sang adik sekilas. bawaan mereka tidak jauh berbeda dengan bawaan siswa yang sedang mengikuti study tour.
"jeongin, aku harap kau tidak benci padaku," kata gadis itu pelan.
"buat apa aku benci padamu?" jeongin meregangkan jemari dan bersandar pada kursi. suara wanita dari pelantang yang memanggil para penumpang kereta membuatnya memejamkan mata. "aku takut. kita bukan tipe yang seperti ini. kita anak rumahan, cenderung menghindari tantangan, dan sekarang sedang melakukan usaha kabur ke kota lain. bagaimana caranya untuk tetap tenang, kak?"
tangan haseul menyambar tangan lembap adiknya. dengan mata bersinar nyalang itu, gadis itu memandangi jeongin lamat-lamat dari jarak bersisa sejengkal.
"lihat aku, kiddo; aku pun sama takutnya denganmu. tapi kita memang harus pergi sekarang. kita raih kebebasan, jeongin, kaumau itu, kan? jika harus menunggu sampai kenaikan kelas, aku tidak bisa menghindar lagi untuk kuliah. dan kau bakal diikutkan les ini-itu." haseul mencari-cari mata jeongin, tetapi sang adik terus menatap ke atas, pada jam digital yang terpasang di dinding, menyalahkan waktu.
kernyit kecewa tercetak di dahi haseul dan gadis itu akhirnya melepas tangan jeongin. "oke, harusnya aku tidak membawamu ke situasi seperti ini. tentu saja kau tidak suka. mau kembali ke rumah? aku akan pesan taksi."
jeongin pening lagi. mengapa hubungannya dengan orang-orang selalu mendadak runyam? mulai dari ayah-ibu, kemudian hyunjin, dan sekarang haseul. kalau terus menerus tidak bungkam, mungkin beberapa menit lagi jeongin akan mengajak ribut masinis keretanya. tanpa sadar jeongin meraih rahangnya sendiri lalu mengunci bibirnya dengan telapak tangan. mulutku pembawa sial.
"mau muntah? perlu kucarikan kantung plastik?"
"aku tidak mau pulang ke rumah." jeongin menggeleng kecil, kini beralih memeluk perut sendiri. "aku ikut denganmu."
haseul mengangkat sebelah alis. "kenapa?"
ada getar ponsel dari saku jeans jeongin. tetapi dia tidak menggubris, malah meringkuk, dada menyentuh lutut. haseul memperhatikan. diam-diam merasa aneh dengan pose itu.
"kurang ajar rasanya kalau aku malah meninggalkanmu setelah bertahun-tahun merawatku. kau melindungiku dengan sangat baik; jadi aku ingin membalasnya dengan selalu berada di sebelahmu." punggung jeongin semakin melengkung, kini kepalanya sudah terkapit di antara dua kaki. "maaf, aku memang klise sekali. akhir-akhir ini hariku berat. aku bertengkar dengan beberapa orang, dan aku tidak mau kalau harus bertengkar denganmu juga."
haseul menatap adiknya dengan senyum terkembang tipis; sebagian hatinya merasa haru, setengahnya lagi geli karena jeongin benar-benar enggan mempertontonkan wajah ketika berkata sebegitu manis.
"kau jantan sekali, ya. terkadang aku ragu bisa menjadi kakak yang baik," kata haseul pelan. "maaf harus membuatmu meninggalkan semuanya—teman baik, sekolah, soulmate. aku hanya mencoba untuk seberani dirimu di depan orang tua kita."
menyinggung kata soulmate membuat jeongin teringat hyunjin. apa yang sedang pemuda itu lakukan? apakah dirinya terlintas di benak hyunjin sebagaimana saat ini jeongin tengah memikirkan si kapten voli? temperatur udara tetap tinggi seperti hari-hari biasa di musim panas. mungkin ada baiknya jeongin menelepon belahan jiwanya sekarang, bertanya apakah dia sedang berbaring ditemani kipas angin menunggu matahari benar-benar tenggelam.
atau tidak. karena seingat jeongin, hyunjin pernah bilang kalau mereka tidak perlu saling bicara lagi.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
"tidak diangkat?"
kepala hyunjin menggeleng sebagai jawaban. layar ponselnya menyala di depan muka, samar-samar menyuarakan sebuah kalimat notifikasi bahwa nomor yang dituju sedang tidak dapat dihubungi; intonasi membosankan yang reguler. kemudian hyunjin beradu pandang dengan adiknya, yang setelah itu mengangguk afirmatif.
"oke, sudah hampir tujuh puluh dua jam tidak ada kabar. kautahu rumahnya, kan?" yeojin berlagak seperti detektif gadungan. hyunjin menggeleng dan adiknya segera berdecak. "lacak jejak sosial media. tidak tahu juga?"
"kaulupa alasan kami bertengkar?"
yeojin mengulum bibir hingga menjadi seutas garis tipis. "apa kau mengenali salah satu teman dekatnya?"
"yeojin, aku benci bilang begini, tapi aku benar-benar hanya tahu sedikit tentang jeongin." hyunjin kembali menatap layar ponselnya yang mulai redup karena hampir kehabisan daya. "dia pernah menyebut salah satu temannya, um, kalau tidak salah namanya seungmin. tapi sedang pergi liburan."
hyunjin mengira dirinya hanya salah lihat. tetapi, mendapati yeojin tampak sangat serius menyikapi permasalahan yang bukan miliknya, soal hilangnya jeongin (padahal pemuda itu hanya terus-terusan tidak mengangkat telepon) membuat hyunjin ingin terkikik lepas. yeojin menaruh perhatian jauh lebih besar daripada yang hyunjin bisa ekspetasikan. apakah gadis itu benar-benar berusia lima belas tahun?
"tanyakan nomor seungmin ke anggota kelas satu." suara yeojin yang datar membuat kakaknya lupa bagaimana gadis itu kalau sudah terbahak. "menilik dari kepribadian jeongin yang tertutup, cuma sahabatnya yang diberi tahu soal alamat rumah. oke, ini hanya prediksi. kebenarannya boleh diragukan."
cara bicara yeojin yang begitu cakap dan menguarkan kesan mendominasi berhasil menjadikan hyunjin terpana. mata sang kakak mengerjap, meniti figur si bungsu dari ujung kepala sampai kaki, keheranan menyaksikan yeojin yang berkembang begitu pesat, sampai-sampai mencuat kembali memori lawas ketika adiknya hanya bisa menangis kalau kepangan rambutnya ditarik hyunjin. ah, sudah lama sekali.
"kak, aku tahu wajahku cantik. tapi kalau dilihat lama-lama aku jadi gugup."