.013

2.3K 571 193
                                    

SCENE THIRTEEN
DARK RURAL SKY

"mau bicara apa?"

"tidak tahan puasa bicara denganmu. hentikan saja, yuk?"

hyunjin mendengus geli, tak sungkan menunjukkan perasaan terhiburnya di hadapan jeongin. sudah sedari tadi puasa bicaranya berhenti, sayangku, batin hyunjin, gemas dengan sikap si adik kelas yang kekanakkan. mereka duduk di kursi beranda rumah. ibu hyunjin sempat menawarkan teh melati, tetapi jeongin buru-buru menyambar bahwa ia sudah minum banyak sebelum mampir.

"hei," suara jeongin memanggil, pelan, nyaris didebur derik jangkrik dari kejauhan, "apa yang kaurenungkan selagi kita tidak mengobrol?"

pertanyaan itu disambut dengan gumam panjang nan membuat bosan. hyunjin meraih tabung merah pringles yang menjadi oleh-oleh jeongin dari minimarket, membukanya serampangan, kemudian menenggak isinya seolah sedang minum soda. jeongin tergelak. itu adalah kali pertamanya melihat kapten voli bersikap barbar.

"tidak ada," hyunjin mengintip isi tabung keripiknya yang hampir habis, "hanya memikirkan ujian besok lusa dan latih tanding. menurutmu aku merenungkan apa lagi?"

jeongin menaikkan sebelah alis, bersikap skeptis. "oh. tidak memikirkan apa-apa, ya?"

"ya."

"pantas saja bisa berduaan dengan heejin di ruang kesehatan."

hyunjin berhenti mengamati isi tabung pringles hanya untuk melihat raut muka jeongin. pemuda itu memandang ke arah lain dengan sorot mata tak tertarik, bosan, mengindikasikan ketidakacuhan lewat gestur sederhana. hyunjin berharap-harap ada sebersit cemburu di balik muka jeongin yang tak sempat diamati.

"kau kenal dia?" kembali hyunjin fokus pada camilannya, berlagak tidak peduli juga, "aku terkejut kau memperhatikan sampai sana. maksudku, itu sudah lama—dan tidak penting."

tatapan jeongin kini jatuh pada sang lawan bicara, entah apa yang berusaha ia sampaikan lewat matanya, "yang tidak kenal heejin berarti dia hidup di gua."

hyunjin kemudian merasa bodoh karena telah melontar pertanyaan yang bahkan sudah dia tebak sendiri jawabannya. heejin dan tenar adalah dua kata yang saling berkaitan, hampir-hampir seperti frasa; sehingga mustahil salah satu siswa di sekolah tidak tahu siapa gadis itu. selagi mengesampingkan soal heejin, hyunjin menyadari jeongin belum menanggapi ucapannya yang lain.

"lalu, kautahu dari mana tentang aku dan dia?" dia memutuskan untuk bertanya lagi.

jeongin mengangkat bahu, "waktu itu aku baru keluar dari perpustakaan dan melihat kalian masuk ruang kesehatan. kata salah seorang petugas, kalian meminjam kunci. setelah itu aku tidak tahu apa-apa."

intonasi jeongin sedikit-sedikit memberi kejelasan bahwa pemuda itu tengah memelihara banyak sentimen di balik dada. hyunjin merasa ada cemburu dalam ucapan si adik kelas, tersirat, yang membuat gamang bagi yang menyimak; apa dia sungguh merasa demikian? sejauh yang hyunjin amati, jeongin adalah pemendam rasa terbaik. emosi tidak bisa mengambil kuasa atas kendali tubuhnya. butuh pengulikan dan masa kebersamaan yang tidak sebentar untuk bisa membaca apa yang tersembunyi di balik muka.

"hyunjin, kau sudah tidak menyukaiku lagi, ya?"

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

ibu hyunjin lagi-lagi memaksanya membawa pulang kudapan yang ada di dapur. rantang kedua milik keluarga hwang kini berada di tangan jeongin, setelah rantang pertama yang masih mendekam di almari peralatan makan, lupa dikembalikan. ibu hyunjin berpesan untuk berhati-hati saat perjalanan pulang dan mengharapkan kunjungan selanjutnya dari jeongin.

jeongin diantar pulang dengan sepeda. dia dibiarkan duduk diam di bangku belakang, sedang hyunjin mengayuh pedal cepat-cepat menuju stasiun. nyaris terhuyung jeongin dibuatnya jika saja sebelah tangan tidak sigap mencengkam ekor sepeda. begitu sampai di wajah stasiun, jeongin buru-buru turun dan mendelik pada sang pengemudi.

"perjalanan yang menyenangkan." ungkapnya sarkastik.

tangan hyunjin menyandarkan sepeda di tiang terdekat, menguncinya, sembari tertawa geli karena perkataan jeongin. dia melepas helm kemudian bertanya pada si adik kelas yang masih geming, belum mau menuruni tangga untuk masuk ke stasiun, "mau kutemani sampai kau berhasil membeli tiket?"

"sudah malam, hyunjin. pulang sana." jeongin menghalau kakak kelas yang hendak turun lalu mengambil helm pemuda itu untuk dipasangkan kembali ke pemiliknya, "maaf sudah lancang. tetapi kau benar-benar harus pulang."

mulut hyunjin membisu ketika jeongin dengan terampil mengunci kaitan helmnya di bawah dagu. jeongin sendiri tidak bersuara banyak, iseng menjawil rahang yang lebih tua setelah pekerjaannya rampung. hyunjin mengulum senyum. respons itu membuat jeongin gemas dan melarikan tangannya untuk mencubit pipi sang kapten voli.

"padahal aku mau makan dulu di dalam," rutuk hyunjin pura-pura merajuk. dia berjalan pelan menuju sepedanya, membuka kunci, lalu menaikinya tanpa mengayuh. hanya maju-mundur di dekat tiang. "tidak takut kutinggal sendiri, kan?"

jeongin menunjukkan kepalan tangannya, "aku bisa menyumpahimu, lho."

hyunjin tertawa dengan cahaya lampu jalan membayanginya. seketika jeongin diselimuti hangat meski yang ia kenakan hanya kaus lengan panjang dan celana pendek selutut. pemuda yang lebih tua memegang setang sepeda, bersiap melaju, tetapi sebelumnya dia tersenyum lembut. "oh, iya, jeongin. tolong ingat ini baik-baik; aku masih menyukaimu. kaukira berpaling semudah apa, hah?"

hanya bungkam yang bisa jeongin lakukan usai mendengar pernyataan itu. apalagi hyunjin tidak mengatakan apa-apa setelahnya, langsung kabur mengayuh sepeda, meninggalkan sebuah tanda tanya besar di atas kepala jeongin. keramaian di sekitar stasiun tak kunjung menjadikannya ingat pulang. dia diam merasakan kembang api menggedor rusuk, berisik yang maha.

━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━

hal pertama yang hyunjin jumpai di cermin wastafel ketika dia sedang menyikat gigi adalah pemuda dengan rambut biru dongker. seingatnya, dia punya rambut sewarna arang. biru dongker mirip bias langit malam di pedesaan—terang, gelap di beberapa area, indah dipandang, dan rasanya asing kala melihat warna itu bercampur padu meruyak di kepala.

mungkin karena efek lampu kamar mandi yang terlalu gemilang. besok hari rambutnya bakal kembali seperti semula.

tingeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang