SCENE NINE
THE UNLUCKY ONEujian sekolah tinggal menunggu hari. jeongin terbiasa menyendiri di perpustakaan sekolah hanya untuk tidur siang, menyeludupkan roti buatan haseul, lalu membaca sekilas buku-buku rekomendasi. tidak mengobrol dengan seungmin. tidak menatap bang chan. tidak pula menemui hwang hyunjin.
suasana hati yang tidak baik mendorong jeongin untuk terus-menerus mengurangi komunikasi dengan banyak orang. hari ini, haseul bilang dirinya bakal mencoba tes masuk di salah satu universitas atas paksaan orang tuanya. jeongin tak bisa menanggapi. tahun depan, dia yang akan seperti haseul—dituntut meraih gelar sarjana dan menjadi sukses dalam konsep yang ideal menurut ayah-ibu.
sedang yang mereka lakukan hanya bekerja, bekerja, menelantarkan anak dalam bangunan empat dinding, membiayai namun tidak merawat.
ada kalanya jeongin membayangkan jika suatu saat nanti ia hidup seorang diri, menikahi seseorang, menjadi orang tua—maka ia bersumpah tak akan menyerupai orang tuanya sekarang. anak-anak akan ia besarkan dengan tangan sendiri. jeongin bakal berusaha terus ada untuk orang-orang yang ia sayangi, mendengarkan keluh kesah mereka, memperhatikan bagaimana mereka berkembang tiap hari.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
hyunjin tidak mengerti mengapa ia dibawa ke ruang kesehatan oleh kawan sekelasnya—heejin.
gadis itu berdiri tepat di hadapan hyunjin, tertawa kecil pada sesuatu yang dianggap lucu meski hyunjin tak tahu apa yang menggelitik perut. tawanya berangsur-angsur mereda dan dia berjalan menuju pintu, menguncinya dari dalam, lalu memasang senyum cantik nyaris membuat lupa dunia. pipi yang tadi seputih porselen kini meruam merah.
"kau ingin bicara apa?" tanya hyunjin, memilih mendudukkan diri di ranjang karena jarak heejin semakin menghimpit. "sepertinya penting. apa tentang tugas biologi barusan?"
heejin tak langsung bicara. dia menyingkirkan helai rambut ke belakang telinga, membuat hyunjin menahan napas lima sekon sebelum menghembuskannya putus-putus seperti baru saja melalui marabahaya yang mengancam nyawa. lewat pergerakan yang anggun, heejin membawa diri untuk duduk tepat di samping hyunjin, bahu saling menubruk.
"manusia seharusnya diperlakukan sama rata, benar, hyunjin?" heejin menatap lawan bicaranya lekat-lekat, begitu serius, "baik yang punya soulmate maupun yang entah-bakal-punya-atau-tidak."
terlalu cepat. heejin ternyata tidak senang beramah-tamah lebih dulu atau membawa topik lain.
hyunjin seketika menoleh, alis menukik separuh berang, "kautahu dari mana?"
ruang kesehatan tampak terlalu lengang untuk pembicaraan intim yang berlangsung di dalamnya. heejin mengangkat alis, berlagak mengingat-ingat, padahal jawaban sudah siap di ujung lidah. tangan ia gantungkan secara kasual di bahu hyunjin. lagaknya akrab namun berbahaya.
"lain kali, jangan mengganti kaus volimu di depan loker. siapa saja bisa lihat." jemari heejin mengetuk-ngetuk pundak si kawan yang mulai dihujam resah, "tubuhmu. kaubilang noda itu ada di dekat perut—tapi aku tak mendapati apapun. katakan, hyunjin, apakah kita sama?"
"kau? tidak punya belahan jiwa?"
"apa perlu aku bertelanjang agar kapten voli ini percaya?"
hyunjin seketika menepis jejari heejin dan gadis itu tertawa riang. telapak tangan menangkup separuh wajah, hyunjin mengembus napasnya panjang, merasa sama sekali tak aman. pikirannya kini didesak banyak agenda—ujian sekolah, latihan di akademi tetangga, soulmate, soulmate, soulmate—kacau.
"dengar, hyunjin. kita perlu bahagia, kan? aku ingin dicintai, kau juga sama." suara heejin melembut seiring tangannya meraih sisi wajah hyunjin, membuat dua pasang mata saling beradu pandang, "bagaimana kalau kita, dua orang yang tak beruntung di dunia ini, bahagia seperti orang lain?"
"caranya?"
"tentu saja dengan saling mencintai, kapten." sebuah ciuman sekilas heejin tempelkan di pipi hyunjin, matanya terpejam rapat, "maka kita bisa menjadi superior dengan cara sendiri. tidak takut bagaimana dunia memandang. karena kita sama kuatnya—saling menopang meski berbeda dari yang lain. aku janjikan kebahagiaan yang bisa kita rajut bersama, hyunjin."
yang diajak bicara geming. kepalanya kopong tak tahu harus membalas apa.
bak menemukan kelinci dalam perangkap, heejin mengulas senyum manis lalu mengusak rambut hyunjin. matanya memindai penuh arti. selagi hyunjin terdiam mempertimbangkan apa yang baru saja terjadi, heejin mendekatkan kepala lalu menekan bibirnya di bibir sang kapten voli. ciuman diperdalam dengan tirai mata bersilir-silir menutup.
kepala hyunjin pening. ketika pipinya ditangkup oleh tangan itu, tangan yang tidak familiar itu, air mata menjelejeh bagai rinai hujan. sesuatu di dalam rusuk menggedor-gedor penuh binasa dan menyulitkannya mengambil napas apalagi bicara. hyunjin menatap heejin pilu.
"boleh beri aku waktu sebentar?"