SCENE SEVENTEEN
PARENTSsuara iringan gitar tanpa vokal bertalun-talun dari speaker di dalam kedai. selagi mengaduk jus stroberinya dengan sedotan, hyunjin memperhatikan lampu-lampu, beberapa orang berpakaian khas pelayan yang berlalu-lalang sambil membawa pesanan, dan desain eksterior berdominasi warna oranye dan cokelat yang mengingatkannya akan tempat makan tepi jalan di daerah istanbul. lalu mata hyunjin mengarah ke jeongin, yang duduk santun membelah burgernya menjadi dua bagian. bagaimana bisa si adik kelas itu tahu perihal kedai sebagus ini?
"sudah sering kemari, ya?" tanya hyunjin penasaran.
jeongin mengangkat kepala, langsung mematri senyum kala menemukan binar hyunjin, "tidak terlalu. aku ke sini kalau haseul yang mau."
"haseul?"
"kakak perempuanku," kata jeongin, tutur katanya menjadi hati-hati, penuh afeksi, "dia bekerja di sebuah toko bunga, beberapa blok dari sini. aku tahu kedai ini darinya."
melihat jeongin yang sebegitu lembut ketika berbicara tentang kakaknya membuat hyunjin bisa menyimpulkan seberapa erat hubungan mereka. manusia jauh terlihat lebih ekspresif saat diminta menceritakan orang-orang yang disayangi, dan bilamana hyunjin harus bercerita tentang ibunya, maka ia bisa tersenyum dengan titik air di pelupuk mata.
"aku jadi penasaran dengan keluargamu." hyunjin menyeruput jusnya perlahan, "boleh mampir ke rumahmu kapan-kapan? nanti kubawakan masakan ibu."
ada keraguan di tatapan jeongin. tetapi, sebagaimana dirinya yang piawai menutupi ekspresi, pemuda itu langsung mengulas senyum lebar diselingi anggukan. hyunjin gamang harus mempercayai raut muka itu atau tidak.
"oh, iya, bagaimana pelatihanmu kemarin?" jeongin segera beralih topik.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
ketika baru saja melepas sepatu dan menaruhnya di rak, nama jeongin langsung dipanggil ayah untuk duduk bersama di meja makan.
euforia yang baru saja ia rasakan setelah makan bersama dengan hyunjin langsung tumpas. jeongin menatap ayah dan ibu sedang duduk kaku bersandarkan kursi kayu tanpa busa, sama-sama memasang wajah tidak ramah, sehingga jeongin mencari-cari keberadaan kakaknya untuk mendapatkan selesa. sayangnya haseul tidak ada. situasi seperti ini sudah disengajakan supaya jeongin terintimidasi.
"duduk." ayah memerintah.
jeongin menurut. duduk di hadapan sang ayah membuat jantungnya berdegum gugup. tetapi dia berusaha berwajah datar karena dia tahu, ketika kelemahannya terpampang, maka ayah akan merasakan kepuasan yang dia berikan secara tidak sengaja. dengan kata lain; jeongin bakal kalah telak bila merasa terpojok. maka dia harus berpura-pura kuat jikalau tidak mau disepelekan.
"aku ingin kau langsung ikut tes masuk universitas begitu lulus SMA nanti. jangan menunda seperti kakakmu—ah, mau jadi apa kau kalau menganggur dulu?" ayah berdecih kemudian. jeongin segera memalingkan wajah karena amarahnya siap mengepul di balik dada. "dan lupakan soal masuk jurusan matematika. aku hanya memberi dua pilihan: hukum atau ekonomi. tidak ada yang lain."
lidah jeongin gatal untuk menahan pertanyaan, "mengapa?"
"tentu saja supaya kau bisa mudah mendapat pekerjaan yang bagus." kali ini ibunya yang menyambar, dengan gestur anggun berpangku tangan, "dunia ini berputar untuk uang. kebutuhan akan uang, pencarian akan uang, dan dalam beberapa kasus, kekurangan akan uang. kami tidak mau kau hidup carut-marut karena tidak punya apa-apa. semua orang bisa mengalihkan pandangannya darimu sekali saja kau menggelandang."
jeongin mengernyit karena bingung mengenai definisi "pekerjaan yang bagus" milik ibunya. apa harus dengan belajar peraturan resmi yang dikukuhkan seorang penguasa, atau justru wajib memahami asas-asas pemanfaatan uang? kedua pilihan itu tidak bisa membuat jeongin serta-merta membuka mulut untuk menyatakan preferensinya. jika mustahil mengantarkannya pada kebahagiaan, untuk apa ia memilih? lebih baik tidak sama sekali.
"aku tidak mau." jeongin merasakan getar di ujung tenggorokannya, tetapi ia mencoba tidak goyah.
ayah memalingkan muka sembari berdecak. gesturnya kentara mengindikasikan kekesalan, yang mana menjadikan jeongin hendak meringis. ini adalah kali pertama jeongin membantah setelah sekian lama selalu setuju atas perintah orang tuanya. telapak tangan di bawah meja terasa dingin berkeringat, hampir merobohkan kemasifan yang ada di dalamnya, dan jeongin kepayahan menyembunyikan rasa takut.
namun apa yang akan ia dapatkan jika membiarkan ketakutan itu menguasai tubuhnya? tak akan dihargai kecakapannya di bidang matematika, tak akan ada hasil dari pembelaan diri, dan tak akan bisa ia menunjukkan bahwa paradigma orang tuanya salah; banyak orang yang belajar selain hukum dan ekonomi yang bisa menghasilkan doku dengan jumlah nol tak terhingga jumlahnya.
selain itu, bukankah dari sekian banyak tujuan hidup, semuanya berujung pada keinginan untuk bahagia?
"apa yang kalian rencanakan tidak akan berjalan baik buatku. aku jelas-jelas ingin menggeluti apa yang kusukai, tetapi kalian malah menginginkan hal lain." jeongin berkata dengan jantung yang amburadul ritmenya, "bagaimana kalau dengan aku menurut, semua yang kalian ekspetasikan tidak berjalan sebagaimana mestinya? ada baiknya kalian lebih sering di rumah, melihat bakat putra-putri kalian, sehingga tidak salah memilihkan jalan untuk mereka."
jeongin tidak sadar bahwa ia baru saja mengawali perang mahadahsyat dengan orang tuanya. ayah menggebrak meja penuh murka, wajah merah padam, sebelum pergi ke kamar tanpa banyak bicara. ibu menoleh padanya dengan senyum pedih mengukir. jeongin harap wanita itu mau berada di pihaknya, sekali saja, sebab suasana terlalu keruh untuknya berdiri sendirian.
tetapi ibu juga membalik punggung. jeongin bersunyi dengan kursi dan meja makan.