SCENE TWENTY
MY BOY IS A PAIN"kak."
pengabaian hyunjin lakukan pada eksistensi yeojin yang menyilang tangan di bingkai pintu kamar. berpura-pura fokus baca komik yang merupakan hadiah cuma-cuma dari jeno. komiknya bikin pusing, kata rekan satu klubnya itu, jadi diberikan saja pada hyunjin daripada dijual di pasar loak. berbulan-bulan terjepit di antara buku pelajaran, baru sekarang hyunjin membacanya sebagai tameng dari tatapan sang adik.
"semalam jeongin kemari."
hyunjin geming. dia berusaha untuk tidak tertarik akan topik yang dibawa yeojin, kepalanya diam kaku di tempat.
"kalian tidak bertengkar, kan?" cicit gadis itu. "kau tidak pernah mengajaknya ke sini lagi."
"kenapa? kausuka dengannya?"
yeojin terlihat kaget. "bukannya itu kau?"
kursi hyunjin mundur beberapa senti dari tempat awal. buku menutupi wajah, ekspresi tersembunyi. pemuda itu menyerah bertingkah sibuk ketika seseorang melantas dengan pertanyaan mengenai adik kelas yang paling ia hindari. mungkin jeongin memang dicipta untuk menjadi getir sekaligus muara bahagia dalam hidupnya.
"dengar, yeojin." tangan hyunjin menurunkan komik dari muka, menatap adiknya dengan kerlingan serius. "aku menyerah soal dia."
yeojin mengernyitkan kening.
hati hyunjin kacau balau. suaranya nyaris pecah ketika harus menjelaskan. "ya, katakanlah kami bertengkar tiga hari lalu. emosi jeongin sedang kalut marut saat itu karena harus pulang—aku tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya—lalu aku memaksa dia bercerita, dan akhirnya kami saling bentak."
"kenapa kau memaksanya?" tanya yeojin, tangannya masih terlipat pongah.
ada hening sejenak. hyunjin menutupi wajahnya lagi dengan komik. "aku tidak mau jeongin berpikir di dunianya hanya tersisa monster dan dirinya yang harus melawan semua ketakutan sendiri. kau mengerti maksudku, kan? dia punya seseorang yang bisa dipercaya. dia punya seseorang yang bakal membantunya."
kepala yeojin mengangguk afirmatif.
"tetapi dia seolah meragukanku. entahlah. dia terlalu apik menutupi semuanya. aku tidak bisa menebak apa-apa."
"itu yang membuatmu kesal?"
yeojin, dengan sikap begitu dewasa untuk ukuran gadis yang akan lulus smp beberapa bulan lagi, memberikan hyunjin waktu supaya pemuda itu bisa menilik benar-benar apa yang merisaukan hatinya. sekilas mereka terlihat seperti psikiater dan pasiennya yang sedang berkonsultasi. hyunjin tertarik menyarankan adiknya masuk sekolah kedokteran atau psikologi nanti.
"aku juga ragu padanya. kami soulmate, tapi seperti bukan." tangan hyunjin saling bertaut, mukanya keruh; perwujudan dari segenap keacakadutan yang dia rasakan akhir-akhir ini. "kami pergi kencan, nonton film, tapi aku hanya tenteram pada saat itu saja. selebihnya total hambar. aku benar-benar menyukai jeongin, aku mau hubungan yang kami jalani menjadi lebih dalam sedikit, sedikit saja. maka dari itu aku ingin dia bercerita. supaya aku tidak melulu dihantui dengan pikiran-pikiran sepele seperti: apakah perasaanku hanya sepihak? begitukah dia menginginkan hubungan ini—dangkal, nyaris tidak ada artinya?"
atmosfer ruangan berangsur adaptif saat tawa keras yeojin memekak di telinga hyunjin. terpingkal-pingkal, gadis itu membungkuk sampai akhirnya bangkis berulang kali karena tersedak sendiri. "kau—uhuk! apa ini—cara pikirmu lebih rumit daripada wanita."
"kau mana bisa mengerti," ucap hyunjin, berlagak tersinggung karena telah dijadikan guyon, padahal hanya ingin mengerjai adiknya. "masih bocah ingusan. tidak paham apa-apa. bertemu belahan jiwa saja belum."
dengan beringas, yeojin menghampiri sang kakak sembari menghentak kaki dan melayangkan tangan, siap-siap menempeleng. tetapi hyunjin segera menangkis serangan tersebut. yeojin memicingkan mata lalu berkacak pinggang. "kau jagoan di lapangan, tetapi sebegini payah kalau menyangkut jeongin. mau kusebut apa? pecundang?"
bibir hyunjin mencebik. semakin tebal kelihatannya.
"berhenti pesimis dan kembali percaya diri! tentu saja jeongin suka padamu, bodoh, mana mungkin tadi malam dia rela kemari kalau tidak punya perasaan apa-apa." telunjuk yeojin menekan pelipis hyunjin, mendorongnya sampai ke belakang. "aku memang belum pernah kencan, sih, tapi aku tahu kalau semuanya perlu proses. jeongin tidak bisa terbuka padamu karena hubungan kalian masih baru. tunggu saja. kebanyakan orang tidak sudi berbagi rahasia jika dipaksa."
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
dalam konteks logika matematika, sudah persis bahwa konsekuen selalu didahului anteseden. perlu penjabaran sebab, lalu akibat, sehingga bisa tersusun suatu pernyataan hipotesis. sifatnya deduktif dan bersyarat. jeongin memang bukan tipe pemuda yang hati-hati, tetapi karena paham betul konsep sebab-akibat, dia hanya bungkam ketika haseul menggagas sebuah ide untuk mereka berdua.
"kenapa diam?" tanya gadis itu dengan intonasi kasual, seolah apa yang baru saja diucapkannya hanya terkait prediksi cuaca dan hal remeh lain. "walaupun kesannya kurang ajar, tetapi ini bagus untuk kita."
"terlalu berisiko, kak. maksudku, bagaimana dengan sekolah? pembiayaan sewa kamar? apa yang akan kita lakukan?" jeongin merasakan panik menjalari kulitnya. "meskipun di sekitar mereka seperti neraka, tetap saja, kan, kita dibiayai. aku ragu semuanya bakal baik-baik saja kalau kita pindah. nanti aku hanya jadi benalu, sementara kau bekerja keras sana-sini."
muka haseul perlahan redup seperti diselimuti awan-awan gemuk. bibirnya terkatup, menipis, dan jeongin seketika merutuki mulutnya lagi—astaga, sudah berapa kali bicaranya kelewatan? gadis itu kemudian menyugar rambut ke belakang. ekspresinya keras dengan mata menyorot ketus.
"asal kautahu saja, jeongin." haseul mengetatkan rahang. "dua bulan terakhir, mereka tidak menyetor sepeser pun. entah lupa atau hanya ingin kita mandiri."
napas jeongin tertahan.
"aku sudah terlanjur membayar semuanya sendirian. dengan tabunganku, dengan gajiku, dengan uang penjualan baju-baju bekasku. kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun. nyatanya, kita hidup cukup-cukup saja, kan? mungkin kalau kita tinggal sendiri, pengeluaran akan terminimalisasi karena satu kamar di apartemen tidak akan memerlukan banyak listrik. kita juga tidak butuh telepon."
kapala jeongin merunduk. dadanya sakit entah karena apa.
"dan kalau kita tinggal sendiri, tidak akan ada yang menyuruhku jadi jaksa atau memaksamu kuliah di jurusan hukum. kebebasan tergenggam begitu mudahnya."
ketika langit mulai menghitam, seolah dibubuhi sulang di mana-mana, jeongin menemukan dirinya sendiri duduk mematung di lantai kamar. haseul berpesan untuk tidak membawa barang begitu banyak. satu ransel dan koper saja sudah cukup. tetapi jeongin kebingungan, luar biasa linglung dan pening menghantam kepala. dia tidak tahu harus memasukkan apa saja ke ranselnya. semua pergerakan tersendat-sendat sehingga jeongin hanya bisa menyerana di sudut kamar, wajah kuyu kehilangan antusias.
pintu tiba-tiba terbuka. kepala haseul mengintip dari celahnya. "besok kuurus surat kepindahanmu, ya. kita tidak boleh menunda-nunda lagi."
mungkin jeongin berhalusinasi, tetapi ia melihat determinasi berkobar-kobar di binar kakaknya.