EPILOG
I LIKE MY CHOICE"bagaimana? dia cantik, tidak?"
pertanyaan ibu dibalas lipatan risi di kening. jeongin memerhatikan wanita di depannya yang sedang mematut diri, bersejajar dengan cermin seraya mengulas senyum anggun. tubuhnya terbungkus gaun putih berenda yang ujungnya panjang mencium lantai. berpayet sana-sini, buat yang melihat nyaris harus memicingkan mata. sebuah delikan adalah cemooh secara tidak langsung. jeongin tidak henti-henti pandangi wanita itu; apakah yang mengenakan tidak merasa enggan dapati kilauan yang bikin buta?
"mengapa kau melihatku begitu?"
jeongin angkat kedua bahu kemudian beralih pada ibunya. "itu gaun untuk upacara pernikahan atau karnaval?"
"apa, sih, jeongin?" si wanita menyergah.
ibu meletakkan kedua tangan di bahu sang putra, mengelus lembut lantas menepuknya seperti penepak gendang yang biasa mengiringi biduan. "kakakmu memang suka yang ramai-ramai. biarkan saja, oke?"
minggu depan adalah pernikahan haseul. lima tahun menyelang kehidupan di busan dengan membuka sebuah toko roti, dia menemukan belahan jiwanya yang merupakan seorang pelanggan setia. pria ilustrator bebas nan eksentrik. usianya setahun di atas haseul, punya kedua tangan yang hampir selalu berlumur banyak warna. kadang cat air, cat minyak, pernah pula tertabur bubuk pastel yang menjadikan haseul terheran sampai harus menyeretnya ke dapur untuk basuh tangan sebelum beli sekantung roti.
jeongin sebenarnya separuh tidak rela dengan sang kakak yang sebentar lagi berhenti membujang. bukan karena calon ipar yang punya tampang lebih memesona dari dirinya, tetapi karena dia tidak akan bisa lagi menunjukkan sisi infantil yang masih menghuni tubuh. di depan haseul, jeongin harus berlagak selayaknya pemuda usia dua puluh satu; pantang merengek, apalagi menangis. ganjil rasanya bila harus membayangkan hari-hari tanpa sang kakak di rumah, dan tiap berjumpa pun, jeongin harus tampak perlente dengan gestur penuh percaya diri. cerminan lelaki jantan.
"jeongin, kau tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa," kata haseul sepulangnya mereka bertiga dari butik. ibu meluncur ke dapur untuk memanggang daging. buku pengenalan monomial dan polinomial dibolak-balikkan jeongin sembari berbaring, tak ada niat untuk membaca. alih-alih ia melirik haseul. "meskipun aku akan menjadi punya orang lain, aku tetap kakakmu, lho. kalau kesulitan cari teman berbicara, aku tidak masalah harus diganggu."
buku ditaruh di dekapan. jeongin mengangkat tangan kirinya, sepasang binar telusuri noda hitam yang menjemukan, ingin segera dibuat lenyap. dia lirik lagi sang kakak. "aku takut kesepian."
"astaga, aku tidak pergi ke seberang lautan, kok. aku pasti mengunjungi ayah dan ibu setiap akhir pekan. dan pintu rumahku akan selalu tersingkap lebar untukmu bertandang kapan saja." haseul tertawa kecil, lantas duduk di sisi kepala jeongin. "sebenarnya ada banyak orang di sekelilingmu, jeongin. kau tinggal buka mata dan menerima mereka untuk didekati."
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
persoalan belahan jiwa tidaklah serumit permasalahan p dan np. boleh menduga-duga, tidak memerlukan jalan yang pasti atau pun sebuah pembuktian yang mengusung teknik dan intuisi. jeongin pernah berandai hyunjin datang ke busan dengan kereta terbang. pernah pula ia mengira-ngira si mantan kapten voli itu lenyap ditelan bumi, tak terendus lagi jejaknya.
hyunjin selalu berhasil mengubah pikiran jeongin berkelana nyaris hilang rasionalitas. belum pernah lagi jeongin dengar kabarnya setelah semua nomor di ponsel terhapus secara otomatis usai diperbaiki. perlukah ia lacak akun sosial media pemuda itu, seperti yang seungmin lakukan pada milik kakaknya bertahun-tahun lalu?
napas terembus lewat mulut. jeongin cek arloji di pergelangan tangan, menghitung berapa hari lagi pernikahan kakaknya tiba, kemudian menyesuaikan jam kedatangan kereta dengan waktu saat itu. masih tersisa dua puluh menit untuk menunggu. bingkas dari kursi, jeongin berjalan melirik toko oleh-oleh yang menjual bermacam permen aneka warna. menggiurkan. tapi uang jeongin hanya cukup beli selembar kertas daur ulang, jadi dia urung mampir.
"cepat cepat cepat kereta kita mau berangkat!"
segerombolan pemuda lari-lari dari arah yang berlawanan. tampak tergesa, seolah nyawa mereka bergantung pada kereta yang akan mereka naiki, sampai-sampai tidak acuh pada beberapa orang yang tertabrak. bahu jeongin adalah salah satu sasaran dari sekian banyak benturan. dia mengurut kening, hendak marah. kepalanya sama sekali tidak temukan alasan mereka begitu gaduh sampai-sampai harus mengesampingkan kenyamanan yang lain.
mulut jeongin bungkam untuk menahan makian. tapak sepatu hendak lanjut berjalan lagi, tetapi sebuah suara buatnya terpaku.
"hyunjin, rambutmu membiru, tuh!"
pekikan itu ialah bahana di indera pendengaran jeongin. tiba-tiba gelenyar rindu merayapi sekujur tubuhnya, dan ia tak perlu berlagak mendramatisasi keadaan dengan geming di tempat. begitu kepala melongok ke belakang, jeongin serentak jumpai sesosok pemuda bersurai hitam kebiruan, mata nyalang setengah tidak percaya. jemarinya gemetar. bibirnya kesulitan menahan senyum.
hyunjin berbilas keringat. kulitnya jauh lebih cokelat dibandingkan saat sekolah dulu. pemuda itu mengerjap beberapa kali, abai pada teriakan di belakang punggung yang memanggil-manggil namanya supaya segera masuk kereta.
"kan, benar kataku dulu. kita pasti bertemu lagi," ucapnya dengan intonasi sarat akan rasa percaya diri. "apa kabar?"
senyum jeongin terulas sangat lebar, hingga berangsur-angsur meledak menjadi tawa. dia menghambur ke pelukan hyunjin. tidak peduli dengan kaus pasangannya yang separuh basah. tidak peduli juga pada kebas yang mulai menghinggapi betis karena harus sedikit berjinjit. tangan jeongin merengkuh leher hyunjin erat-erat, seperti berusaha menggenapi kopong yang terbentuk sejak lima tahun lalu, sekaligus menyampaikan apa yang berkecamuk di benak.
hyunjin mungkin sesak dipeluk sedemikian kuat. tetapi pemuda itu turut mengelus punggung jeongin dengan lembut, sentuhan halus selayaknya memperlakukan porselen mahal nan rapuh. jeongin bisa rasakan pipi hyunjin yang mengembang. seperti apa senyumnya? ingin sekali lihat segaris kurva itu menghiasi wajah sang mantan kapten voli, namun jeongin terlalu egois untuk melepas pelukan. dia mau sedikit lama lagi. sampai rindunya tanggal semua, sampai keresahan yang merundung habis terkelupas.
ini serasa abadi.
jeongin lantas memejamkan mata.
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
(persoalan belahan jiwa memang tidak serumit permasalahan p dan np. seusai lulus kuliah, jeongin dibawa hyunjin untuk tinggal terasing berdua di sebuah kota kecil sekitar dataran tinggi korea. mereka awalnya tidak mengenal siapa pun. tetapi sukacita lahir bersilir-silir; lewat kebaikan para tetangga, lempar argumen satu sama lain, dan kecupan-kecupan halus menjelang tidur. mereka buat halaman belakang rumah sebagai kebun stroberi mini. kala musim panas tiba, jeongin memanen buahnya kemudian diblender untuk hyunjin. mereka piknik di beranda. saling berseloroh, kadang mengobrolkan cita-cita; yang mana membuat hyunjin tak berhenti menceracau hingga jeongin harus bekap bibirnya dengan ciuman.
"menyesal sudah bersamaku?"
dijawab gelengan. "kadang bosan melihat mukamu setiap hari. tapi, mana mungkin aku menyesal?"
mereka memang tidak selamanya dilingkupi kebahagiaan. namun, sebagaimana kehidupan pada umumnya, alternasi kerap terjadi serupa mengganti gumpalan awan mendung menjadi secercah sinar mentari. tak ada badai yang kekal. lambat laun, perkara menguap.
"benar. aku pun tak akan menyesal. aku suka pilihanku.")
FIN.
note: p dan np adalah salah satu dari enam permasalahan matematika yang belum terpecahkan.