SCENE EIGHTEEN
WEEPING TEARS"haseul, kami pergi dulu," kata ibu dari depan pagar, tangannya membuka pintu mobil lalu melambai pada sang putri, "jaga rumah. hati-hati, ya."
amanat ibu dibalas anggukan. kemudian mobil bercat hitam mengilap itu meninggalkan area rumah, bersamaan dengan haseul yang menggumam sebuah lagu dan membalik badan untuk melihat adiknya sedang duduk menonton televisi. volume disetel nyaring sehingga haseul bisa menebak iklan apa yang sedang tayang. barusan sabun pencuci piring, sekarang sereal.
"ayah dan ibu benar-benar menganggapku lenyap dari sini." jeongin menumpu dagu di kedua lututnya, mata fokus pada siaran, "mereka hanya pamit padamu."
haseul menutup pintu rumah. langkahnya mendekat pada jeongin, kemudian ia membawa kepala adiknya untuk tidur di pangkuan. jeongin tidak protes. haseul pelan-pelan menyisir rambut pendek jeongin, dan berkata, "tadi malam ada suara gebrakan meja. itu kau?"
kepala jeongin terusak. dia segera melarikan kedua tangan di depan wajah, tak menjawab apa-apa, hanya bungkam sampai haseul sadar ada jejak air menetes di roknya. bahu jeongin naik dan turun. tangisnya bisu tanpa suara, tetapi haseul merasakan hatinya tersayat hanya dengan melihat punggung sang adik yang melengkung sebegitu repas.
semalam haseul mendengar samar keriuhan yang terjadi di ruang makan. suara bariton penuh kuasa milik ayah, wejangan ibu, dan suara khas remaja sekolahan punya jeongin. semuanya bercampur padu, terlalu dipaksakan, terlalu kokoh untuk bisa melebur, sehingga perbalahan mustahil dihindari. jeongin yang perasaannya sehalus satin tidak biasa dengan perang.
"a-aku tidak pernah bertengkar dengan mereka, kan?" jeongin semakin meringkuk, membuat haseul terpancing untuk memberi pelukan, "li-lihat sekarang, aku payah sekali. ini memalukan. m-man-mana seluruh kekuatanku semalam?"
tawa haseul mengalun sumbang, "kalau kau payah, terus aku bagaimana?"
"tapi kau tidak berpura-pura."
"aku tidak bisa memperjuangkan apa yang kumau, jeongin," ucap haseul, berusaha membuat kalimatnya terdengar kuat untuk meyakinkan sang adik, "dengar, terjadinya adu mulut di ruang makan semalam karena kau membantah permintaan mereka, kan? kau sudah seberani itu untuk melawan. tidak peduli keberanian itu hanya pura-pura; kau berhasil menunjukkan bahwa tidak selamanya kau sudi menurut."
jeongin sesenggukan, "ak-aku tidak suka bertengkar dengan mereka."
"memangnya siapa yang suka bertengkar dengan orang tua?" haseul mengusak kepala adiknya semakin menjadi, membuat jeongin mengerang risih, "kiddo, aku sangat bangga padamu sekarang; jadi aku mohon untuk terus memperjuangkan apa yang kausuka. jangan pedulikan orang lain. bukan mereka yang menjalani hidupmu, jadi kaubuat aturan sendiri. kay? aku harap, di antara kita berdua, setidaknya ada satu yang bisa benar-benar bebas dari ekspetasi ayah maupun ibu."
ialah kebahagiaan yang haseul rasakan kala pandangannya bersibobrok dengan sang adik. perlahan jeongin kembali duduk tegak, punggung tenggelam di empuknya busa sofa, sementara jemari berupaya mengesat sisa-sisa air di sekitar pipi. matanya merah; cukup untuk melukiskan separah apa hatinya membeset. tetapi jeongin seketika kembali ceria. senyumnya begitu manis terulas, tahu-tahu menjadikan haseul lupa bahwa adiknya baru saja menunjukkan sisi rapuhnya.
"bicara apa, sih. kita berdua pasti bakal bebas. tinggal menunggu waktu saja," sungut jeongin sebelum membersit hidung dengan tisu di meja dekat sofa, "lucu, ya, kita seperti bertukar posisi. tempo hari kau yang menangis, sekarang aku. kita berdua cengeng sekali."
━━━━.⋅ ❈ ⋅.━━━━
"hai."
jeongin tiba di depan pintu rumah hyunjin dengan keadaan basah kuyup. mantelnya menitikkan air, dari ujung kepala sampai kaki tak ada yang kering. senyum jeongin lebar dengan gigi bergemeletuk menahan dingin. hyunjin buru-buru mengambilkan handuk dan pakaian ganti.
"orang waras mana yang mau menerjang hujan begini," dumal hyunjin, mengambil alih semua barang bawaan adik kelasnya, "mandi sana. setel pancuran airnya supaya hangat."
punggung jeongin didorong ke depan pintu kamar mandi. hyunjin sempat mengerling jahil dan bertanya apakah ia perlu membukakan semua pakaian jeongin, lantas ia dibalas dengan tamparan main-main di bahu. jeongin sama sekali tidak bersemu. tawanya terdengar hambar, selaras dengan sorot mata yang sarat akan luka.
"habis menangis?" hyunjin bertanya hati-hati.
dilihatnya jeongin menggeleng, cepat-cepat mengerjap demi memalsukan sebuah senyum lebar, "haseul baru masak makanan pedas, aku tidak kuat."
di detik ketika jeongin membalik punggung dan sepenuhnya masuk ke kamar mandi, hyunjin menghela napas, membawa dirinya berbaring di sofa. mereka sudah kenal lebih dari dua purnama. status kawan biasa kini telah menjadi sepasang belahan jiwa, sayangnya hyunjin tidak merasakan batas pembeda di antara kedua hal itu.
jeongin sudah banyak tahu tentang hyunjin; soal keluarganya, kesibukannya di sekolah, pelajaran apa yang ia sukai dan merk camilan favoritnya. bahkan pemuda itu diberi akses untuk sesuka hati keluar-masuk rumah keluarga hwang. jeongin mengenali hyunjin sebaik ia mengenali dirinya sendiri, tetapi hyunjin sama sekali tidak punya celah untuk memahami adik kelasnya lebih jauh. terlalu sukar bagi hyunjin membuat jeongin nyaman.
kemudian muncul sebuah prasangka. barangkali jeongin merasa terintimidasi ketika berdekatan dengan hyunjin, mungkin perubahan dari teman menjadi soulmate sangat drastis perbedaannya, dan jeongin masih kesulitan untuk beradaptasi. butuh waktu untuk adik kelasnya menaruh percaya. butuh banyak penantian sampai jeongin bersedia bercerita banyak-banyak.
tetapi sampai kapan?
✧・゚: *✧・゚
halo halo! maaf telat apdetnya,
aku ada acara sekolah kemaren huhu
semoga bab ini nggak mengecewakan
yaaa. have a great day! ♥